HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI DAN PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR PADA ANAK USIA 6 BULAN SAMPAI 2 TAHUN DI POSYANDU GENDIS I WILAYAH PLAWIKAN, JOGONALAN, KLATEN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anak merupakan sumber daya manusia yang penting sebagai penerus generasi yang akan datang. Masa anak terutama 0 – 5 tahun yang disebut sebagai anak balita merupakan salah satu masa rumit, kritis, penting, dan penuh risiko karena pada masa 5 tahun pertama kehidupan dibentuk dasar-dasar kepribadian, kemampuan fisik, organik, intelektual, proses berfikir, perkembangan keterampilan bahasa dan bicara, bertingkah laku sosial atau bersosialisasi (Ismail, 2004).
Air susu ibu (ASI) adalah makanan terbaik bayi pada awal usia kehidupannya. Hal ini tidak hanya karena ASI eksklusif mengandung zat gizi tetapi ASI juga mengandung zat imunologik yang melindungi bayi dari infeksi. Praktik menyusui di Negara berkembang telah berhasil menyelamatkan sekitar 1,5 juta bayi pertahun. Atas dasar tersebut WHO merekomendasikan untuk hanya memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 4-6 bulan. Stiven Allen (dalam siaran pers UNICEF, 2004) mengatakan bahwa ASI bukanlah sekedar makanan tetapi penyelamat kehidupan. Setiap tahunnya lebih dari 25.000 bayi Indonesia dan 1,3 juta bayi di seluruh dunia dapat diselamatkan dengan pemberian ASI eksklusif pada tahun 1999. ASI mengandung semua nutrisi yang diperlukan bayi untuk bertahan hidup pada 6 bulan pertama mulai dari hormon, antibodi, faktor kekebalan sampai anti oksidan. Anak-anak yang tidak diberi ASI eksklusif akan cepat terjangkit penyakit seperti Kanker, Jantung, Hipertensi, Diabetes setelah dewasa. Kemungkinan anak akan menderita kekurangan gizi dan obesitas lebih besar (SDKI, 2007).
Semakin banyak bayi mendapat ASI, maka dalam perkembangan kelak anak akan lebih sehat, lebih cerdas, lebih stabil emosinya, lebih peka sifat sosial dan lebih kuat sifat spiritualnya (BKKBN, 2006). Selama ini alat pemantauan pemberian ASI dirasa belum ada sehingga cakupan pemberiaannya masih sangat rendah. Untuk tahun 2003 cakupan ASI eksklusif baru mencapai 17,60%, masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target yang diharapkan yaitu 80% bayi yang mendapat ASI eksklusif. Tindakan nyata yang sudah dilakukan oleh tenaga kesehatan berupa penyampaian informasi kepada semua ibu yang baru melakukan untuk memberikan ASI eksklusif.
Ada sejumlah kendala mengapa ASI eksklusif tidak sampai ke bayi, diantaranya karena bayi langsung dimandikan setelah lahir, langsung diberi susu formula, dan ditempatkan terpisah dari ibu saat dirumah sakit. Pemberian ASI menurut Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) mampu meningkatkan intelektualitas sumber daya manusia (Anonim, 2004)
UNICEF menyebutkan bukti ilmiah terbaru yang dikeluarkan oleh Jurnal Paediatrics pada tahun 2006, terungkap data bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki kemungkinan untuk meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya. Peluang itu 25 kali lebih tinggi dari bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif. Banyaknya kasus kurang gizi pada anak-anak berusia di bawah 2 tahun yang sempat melanda beberapa wilayah Indonesia dapat diminimalisir melalui pemberian ASI secara eksklusif. Oleh sebab itu sewajarnya ASI Eksklusif dijadikan sebagai prioritas program di negara berkembang ini (Anonim, 2006).
Ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara menyusui dengan benar, serta pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh para produsen susu formula, merupakan faktor penghambat bagi terbentuknya kesadaran orang tua di dalam memberikan ASI Eksklusif. Gencarnya promosi susu formula di duga menjadi penyebab menurunnya jumlah bayi yang mendapat Air Susu Ibu. Berdasarkan survey demografi dan kesehatan Indonesia tahun 1997 dan 2003, angka pemberian ASI Eksklusif turun dari 49% menjadi 39%, sedangakan penggunaan susu botol naik menjadi 3 kali lipat (Anonim, 2006).
Banyak pihak mengakui, bahwa ASI merupakan cairan hidup dan paling tepat untuk bayi dalam kehidupannya. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan kode etik yang mengatur agar bayi wajib diberi ASI eksklusif sampai usia minimal 6 bulan. Organisasi Kesehatan Dunia menyarankan agar pemberian ASI diberikan kepada bayi sampai usia 2 tahun dengan dilengkapi makanan tambahan. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan keputusan baru Menkes sebagai penerapan kode etik WHO. Dalam keputusan ini dicantumkan soal pemberian ASI eksklusif Permenkes Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 (Anonim, 2004).
Sejak dahulu, masalah perkembangan anak telah mendapat banyak perhatian. Pada saat ini bebagai metode deteksi dini untuk mengetahui gangguan perkembangan anak telah dibuat. Demikian pula dengan skrining untuk mengetahui penyakit-penyakit yang potensial dapat mengakibatkan gangguan perkembangan anak karena deteksi dini kelainan perkembangan anak sangat berguna, agar diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan lebih awal, sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung seoptimal mungkin (Soetjiningsih, 1998).
Gangguan perkembangan masa anak adalah berbagai jenis masalah perkembangan potensial yang terjadi pada masa yaitu usia anak 0 – 12 tahun. Pada dasarnya, tiap-tiap tahap perkembangan memiliki potensi gangguan perkembangan berbeda-beda, tergantung pada tugas perkembangan yang diemban masing-masing usia (Anonim, 2007).
Gerakan (motorik) kasar adalah semua gerakan yang mungkin dilakukan oleh seluruh tubuh. Perkembangan motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerakan tubuh dan perkembangan tersebut erat kaitannya dengan perkembangan motorik di pusat.
Tes yang umum digunakan untuk memantau perkembangan motorik adalah tes Denver. Tes ini membagi perkembangan anak menjadi empat yaitu perkembangan personal sosial, perkembangan bahasa, serta perkembangan motorik kasar dan motorik halus adaktif.
Pada Posyandu Gendis I yang ada di wilayah Jogonalan Klaten terdapat sekitar 40 anak yang berusia 6 bulan sampai 2 tahun. Alasan peneliti melakukan penelitian ini karena ASI sangat penting dan mencukupi semua kebutuhan bayi. Bayi yang tidak mendapatkan ASI akan mudah terkena infeksi. Jika sekarang banyak balita mengalami gizi buruk atau busung lapar, karena anak itu tidak mendapatkan ASI. Untuk masalah motorik pada keadaan kurang energi dan protein (KEP), anak menjadi tidak aktif, apatis, pasif, dan tidak mampu berkonsentrasi. Akibatnya, anak dalam melakukan kegiatan eksplorasi lingkungan fisik disekitarnya, hanya mampu sebentar saja, dibandingkan dengan anak yang gizinya baik, yang mampu melakukannya dalam waktu yang lebih lama. Selain itu di Posyandu Gendis I terdapat anak yang tidak diberi ASI namun perkembangannya mengalami sedikit keterlambatan dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


15HUBUNGAN ANTARA PELAKSANAAN PERSONAL HYGIENE PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN RIWAYAT IMMOBILISASI DI RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Peranan rumah sakit dalam memajukan kesehatan masyarakat pada masa sekarang ini menjadi bertambah penting. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan akan pelayanan kesehatan semakin tinggi dan masyarakat pun menjadi semakin kritis dalam memperhatikan mutu pelayanan yang diberikan sebuah rumah sakit (Lumenta, 1989 Cit. Ema, 2004). Reorientasi tujuan dari organisasi layanan kesehatan dan reposisi hubungan pasien-dokter dan profesi layanan kesehatan perlu diperhatikan agar semakin terfokus pada kepentingan pasien. Dengan kata lain layanan kesehatan itu harus selalu mengupayakan kebutuhan dan kepuasan pasien dan atau masyarakat yang dilayani secara simultan (Pohan, 2006).
Mutu pelayanan rumah sakit sangat tergantung pada kualitas perawat-perawatnya. Dalam sistem pelayanan kesehatan, perawat mendapat banyak perhatian karena peran dan fungsi mereka memberi bentuk terhadap upaya pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan hal-hal yang dapat menjadi hambatan perkembangan kualitas perawat, agar dapat diusahakan pencegahan atau penanganannya sedini mungkin sehingga tidak sampai mengganggu proses pelayanan rumah sakit (Lumenta, 1989 Cit. Ema, 2004).
Kepuasan pasien adalah keluaran dari layanan kesehatan dan suatu perubahan dari sistem layanan kesehatan yang ingin dilakukan tidak mungkin tepat sasaran dan berhasil tanpa melakukan pengukuran kepuasan pasien. Karena hasil pengukuran kepuasan pasien akan digunakan sebagai dasar untuk mendukung perubahan sistem layanan kesehatan dan merupakan perangkat yang digunakan untuk mengukur kepuasan pasien yang handal dan dapat dipercaya (Pohan, 2006).
Pelayanan keperawatan yang bermutu adalah pelayanan keperawatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan dari asuhan keperawatan sesuai dengan tingkat kepuasan masyarakat, serta penyelengaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan. Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien harus selalu memperhatikan kebutuhan dasar manusia secara individual yang sangat unik, terdiri dari kebutuhan bio-psiko-sosial dan spiritual yang salah satunya adalah kebutuhan personal hygine.
Pemenuhan personal hygine adalah tindakan keperawatan terhadap pasien seperti kebersihan kulit (mandi), kebersihan rambut, kebersihan kaki dan kuku, kebersihan mulut dan kebersihan perineal (Smith (1996) dalam Alimul, 2006). Orang sehat biasanya dapat melakukan sendiri pemeliharaan personal hygine-nya. Tetapi selama waktu sakit perawat membantu pasien meneruskan kebiasanya menjaga kesehatan dan kebersihannya. Misalnya seorang pasien yang sedang sakit mungkin akan merasa terganggu jika harus menyikat gigi atau mungkin dapat melalaikanya (Mahmudin, 2002).
Pemenuhan kebutuhan personal hygiene dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dibantu oleh perawat yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan. Pasien yang masuk ke Rumah Sakit sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan personal hygiene, sehingga mereka sering ketergantungan dengan perawat untuk memenuhi kebutuhan kebersihan dirinya. Perawat sebagai pelaksana dan yang melakukan asuhan keperawatan kepada pasien telah mempunyai pengetahuan cara memenuhi kebutuhan personal hygiene baik secara mandiri atau dibantu. Pengetahuan didapat saat perawat menjalani pendidikan sesuai dengan tingkat pendidikan perawat yang diperolehnya.
Fenomena yang menarik untuk dipelajari dari pandangan perawat dan pasien, dalam praktek sehari-hari di Rumah Sakit, terdapat adanya kecenderungan perawat untuk meninggalkan suatu tindakan mandiri keperawatan. Ada sebagian perawat yang berpandangan bahwa seorang perawat dikatakan profesional bila ia mampu melakukan tindakan yang kadang berada di luar area kemandirian perawat itu sendiri. Sebagai bentuk tindakan mandiri perawat, melaksanakan kebersihan perorangan pada pasien sering tidak dilakukan perawat (Mahmudin, 2002).
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten merupakan rumah sakit terbesar di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Berkaitan dengan pelaksanaan personal hygiene yang dirasakan oleh pasien, menunjukkan pelaksanaan personal hygiene yang dilakukan perawat untuk membantu pasien di Instalansi Rawat Intensif RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro Klaten, didapatkan bahwa ketentuan melakukan kebersihan diri, yang meliputi mandi, gosok gigi, mencuci rambut, memotong kuku dan lain-lain dilakukan oleh perawat. Hasil wawancara pada 5 pasien riwayat immobilisasi yang personal hygiene-nya dibantu oleh perawat, menunjukkan 3 pasien menyatakan tentang pelaksanaan personal hygiene oleh perawat adalah kurang baik. Untuk dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang pelaksanaan personal hygiene yang dilakukan oleh perawat khususnya pada pasien yang personal hygiene-nya pernah dibantu (riwayat immobilisasi) di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, maka peneliti bermaksud melaksanakan penelitian yang fokusnya pada persepsi pasien tentang pelaksanaan personal hygiene (pemeliharaan kebersihan perorangan) oleh perawat di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG AIR SUSU IBU (ASI) DI PUSKESMAS SANDEN KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Gerakan pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat tahun 2010 sudah di canangkan oleh Presiden RI pada tanggal 1 Maret 1999. Dengan kebijakan dan strategi baru ini, perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di semua sektor harus mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Tujuan pembangunan Indonesia sehat 2010 adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia, yang dicirikan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif, dan mandiri (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000). Peningkatan kualitas manusia tidak dapat tercipta dalam waktu yang singkat, sehingga perlu dilakukan sedini mungkin sejak bayi dalam kandungan ibu dan segera setelah bayi lahir. Dengan demikian kesejahteraan ibu dan anak mendapat perhatian khusus sebagai upaya untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi (Depkes RI, 1993).
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah indikator status kesehatan yang peka menerangkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia adalah masih tingginya AKB yaitu 35 per seribu kelahiran hidup (KH). Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan Negara ASEAN lain. Di Philipina, 23,98 per 1000 KH, Thailand 21,83 per 1000 KH, Malasyia 19 per1000 KH, Brunai Darussalam 13,5 per 1000 KH, dan Singapura 3,3 per 1000 KH. Penyebab utama kematian bayi dan balita di Indonesia adalah penyakit infeksi terutama infeksi saluran nafas dan diare (Rahardjo, 2003).
Meskipun menyusui bayi sudah menjadi budaya Indonesia, namun praktik pemberian ASI masih belum memenuhi harapan. Buruknya pemberian ASI dipicu oleh promosi susu formula di berbagai media dan sarana pelayanan kesehatan (SPK) (Depkes RI, 2006). Salah satu upaya tersebut adalah digalakkannya peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI). Air Susu Ibu sebagai sumber gizi utama bagi bayi memiliki keunggulan yang tidak perlu disangsikan lagi, selain sebagai sumber gizi pemberian ASI dapat menjarangkan kehamilan, memberikan kekebalan bagi bayi serta efek psikologis hubungan lekat bayi (maternal–infant bonding) sehingga dapat meningkatkan kualitas maupun kelangsungan hidup anak (Depkes RI, 1993).
Salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan keadaan gizi balita yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik memerlukan pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan pemberian ASI yang benar dan tepat. Bayi yang mendapat ASI akan lebih terjaga dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA serta mempunyai peluang untuk hidup lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula (Rahardjo, 2003).
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama. Pemberian ASI pada bayi umur kurang 2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9 dan antara 6-7 bulan 7,8%. Sementara itu cakupan pemberian susu formula meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu antara 1997 sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002 (Depkes RI, 2006).
Gambaran tentang pemberian ASI di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001, ternyata bayi yang berumur 6 bulan yang masih mendapat ASI saja 6,7%, ASI dan makanan tambahan 84,2% dan yang memberikan makanan tambahan saja 9,1% (BPS, 2001). Gambaran tentang pemberian ASI di Yogyakarta menurut BPS Provinsi DIY dari hasil Susenas 1999, ternyata bayi berumur 0-5 bulan yang masih mendapat ASI saja 7,76% dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 13,81% (BPS, 2000). Dinas Kesehatan Provinsi DIY melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif perkabupaten atau kota tahun 2004 yaitu Gunung Kidul 40,52%, kota Yogyakarta 31,46%, Sleman 30,03%, Kulonprogo 21,76%, dan Bantul 21,62% (Dinkes DIY, 2005). Puskesmas Sanden melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif sampai bayi usia 4 bulan pada tahun 2005 yaitu 37,50% dan ASI eksklusif 6 bulan tahun 2006 yaitu 30,73% (Puskesmas Sanden, 2007)
Menyusui merupakan pengalaman baru bagi ibu post partum sehingga dapat menjadi stressor yang pada akhirnya dapat menimbulkan krisis. Melihat fenomena tersebut untuk mengantisipasi terjadinya krisis pemberian tambahan pengetahuan sangat penting terutama tentang bagaimana cara atau teknik menyusui yang benar (Linasari, 2004).
Proses pemberian ASI eksklusif banyak bergantung pada visi ibu. Para ibu (terutama ibu yang baru pertama kali melahirkan) harus menambah pengetahuannya mengenai pentingnya ASI eksklusif, termasuk keterikatan ibu-bayi (bonding) dan tingginya imunitas dalam ASI sehingga anak akan jarang sakit. Keberhasilan ASI Eksklusif bisa diperoleh bila ibu mempunyai persepsi yang benar soal ASI dan keadaan emosinya stabil. Rasa cemas bingung dan depresi pada ibu menyusui akan menyebabkan hubungan ibu-bayi kurang harmonis, sehingga umumnya mengurangi frekuensi dan lamanya menyusui. Disamping itu juga Stres pada ibu menyusui bisa menyebabkan produksi ASI berkurang (Krisnadi, 2006).
Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat sederhana, seperti misalnya cara menaruh bayi pada payudara ketika menyusui, isapan bayi yang menyebabkan puting terasa nyeri, dan masih banyak lagi masalah lain. Terlebih pada minggu pertama setelah persalinan seorang ibu lebih peka dalam emosi. Untuk itu seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui (Padmawati dalam Soetjiningsih, 1997)
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa didahului oleh stimulus yang berupa materi sehingga menimbulkan pengetahuan baru, selanjutnya menimbulkan respon batin berupa sikap yang akhirnya menimbulkan respon yang lebih jauh yaitu berupa tindakan. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmojo, 1993).

Penyerapan informasi yang beragam dan berbeda dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan manusia baik pikiran, perasaan maupun sikapnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kemampuan dasar yang dimiliki seseorang, khususnya pemberian ASI. Air susu ibu merupakan makanan utama dan terbaik untuk bayi usia 0-2 tahun (Astutik, 2003).
Berdasarkan data dari beberapa penelitian, ternyata belum semua ibu menyusui memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Banyak faktor penyebab tidak berhasilnya pemberian ASI eksklusif 6 bulan, salah satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan, pengalaman menyusui, informasi lewat media, serta faktor petugas dan pelayanan kesehatan melalui KIE tentang ASI eksklusif oleh petugas kesehatan termasuk perawat, bidan, atau dokter (Notoatmodjo, 2002; Lubis, 1998; Wiryo, 2001)
Menurut uraian diatas bahwa cakupan ibu yang memberikan ASI eksklusif di Kabupaten Bantul terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta, melihat kenyataan tersebut maka penulis memandang perlu diadakan penelitian “Hubungan antara Paritas dengan Pengetahuan Ibu tentang Air Susu Ibu (ASI) di wilayah kerja Puskesmas Sanden Bantul”. Alasan peneliti mengambil Puskesmas Sanden sebagai tempat penelitian adalah karena pelaksanaan pemberian ASI eksklusif pada tahun 2005 dan tahun 2006 kecamatan Sanden belum memenuhi target Bantul sebesar 80%. Serta letak Puskesmas Sanden yang berada di daerah semi perkotaan sehingga diharapkan dapat menggambarkan masyarakat desa dan kota.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMBERIAN ASI DENGAN STATUS GIZI BATITA DI DESA WONOKERTO, KECAMATAN TURI, KABUPATEN SLEMAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Angka Kematian Batita menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan. Angka Kematian Batita adalah jumlah kematian anak umur 0-3 tahun per 1.000 kelahiran hidup.Angka Kematian Batita pada tahun 2002 diperkirakan sebesar 43 per 1000 kelahiran hidup dan ternyata Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 (SDKI 2002-2003) menunjukkan bahwa AKABA mencapai 23 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 1996 AKABA diperkirakan sebesar 58 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 53 pada tahun 1992 dan turun kembali menjadi 28 pada tahun 2000. Sedangkan Angka kematian batita di D. I. Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2002) terlihat mengalami penurunan terus-menerus.
Status gizi batita merupakan salah satu indikator yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keadaan gizi, terutama sejak masa batita, akan sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan manusia dewasa. Hal ini disebabkan kecukupan gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak terutama pada masa balita yang nantinya akan menghasilkan manusia yang produktif dan berkualitas (Susenas, 2001). Berbagai studi telah mengidentifikasi faktor-faktor resiko tinggi yang mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak. Faktor-faktor itu berkaitan dengan kondisi medis, sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang mencakup salah satunya adalah penyapihan dini (Suhardjo, 2003).
Masa penyapihan pada anak merupakan masa yang sulit dimana anak mengalami masa peralihan antara disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa. Sering kali karena kurang bersihnya makanan yang diberikan anak mengalami diare setelah penyapihan. Apabila salah dalam pemberian makanan pada balita setelah penyapihan bisa berakibat penurunan status gizi pada balita (Neilson, 1997).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations Childern’s Fund (UNICEF) merekomendasikan menyusui eksklusif sejak lahir untuk 6 bulan pertama, dan meneruskannya bersama makanan pendamping Air Susu Ibu (MP – ASI) yang cukup sampai 2 tahun atau lebih,tetapi sebagian besar ibu dibanyak negara mulai memberikan bayi makanan atau minuman buatan pada umur kurang dari 6 bulan, dan banyak lagi menghentikan menyusui sebelum anak berumur 2 tahun (Depkes, 2005). Melihat begitu unggulnya ASI maka sangat disyangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang diharapkan. Penggunaan ASI yang dianjurkan adalah sampai umur 6 bulan bayi hanya diberi ASI saja, kemudian pemberian ASI diteruskan sampai umur 2 tahun bersama dengan makanan tambahan yang adekuat
Data yang diperoleh tentang lamanya pemberian ASI di Kabupaten Sleman pada tahun 2005 yaitu usia 0-5 bulan sebanyak 2.961 (7,78%), usia 6-11 bulan sebanyak 1.607 (4,22%), usia 12-17 bulan sebanyak 6.175 (16,22%), usia 18-23 bulan sebanyak 5.244 (13,78%) dan usia >24 bulan sebanyak 22.077 (58%) (Susenas 2005).
Status gizi balita di DIY pada tahun 2005 terdapat 1,20% balita mengalami gizi buruk, 9,00% mengalami gizi kurang kurang, 83,29% mengalami gizi normal, dan 6,51% mengalami gizi lebih. (DinKes Provinsi DIY, 2005). Di Kabupaten Sleman terdapat 57.548 balita, yang ditimbang sebanyak 53.265 balita. Untuk status gizi di Kabupaten Sleman terdapat 37.087 balita (64,45%) mengalami gizi normal, 301 balita (0,52%) mengalami gizi kurang. (Profil Kesehatan Kabupaten, 2005). Sedangkan di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang akan dijadikan lokasi penelitian terdapat 2,67% batita mengalami gizi buruk, 6,23% batita mengalami gizi kurang, 88,77% batita mengalami gizi baik, dan 1,78% batita mengalami gizi lebih. Untuk desa Wonokerto sendiri terdapat 317 batita, 2,20% mengalami gizi buruk, 17,03% mengalami gizi kurang, 80,21% gizi baik, dan 0,68% gizi lebih (Subdin Kesga Dinkes Sleman, 2005).
Peneliti mengambil obyek penelitian di lokasi tersebut diatas karena didasari studi pendahuluan yang menunjukkan bahwa dilokasi tersebut masih ada balita dengan gizi buruk dan gizi kurang dan juga lamanya pemberian ASI yang kurang dari 2 tahun. Berdasarkan kondisi tersebut penulis mencoba meneliti apakah ada hubungan antara lama pemberian ASI dengan status gizi batita di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu




Read more


HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMBERIAN ASI DENGAN STATUS GIZI BATITA DI DESA WONOKERTO, KECAMATAN TURI, KABUPATEN SLEMAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Angka Kematian Batita menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan. Angka Kematian Batita adalah jumlah kematian anak umur 0-3 tahun per 1.000 kelahiran hidup.Angka Kematian Batita pada tahun 2002 diperkirakan sebesar 43 per 1000 kelahiran hidup dan ternyata Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 (SDKI 2002-2003) menunjukkan bahwa AKABA mencapai 23 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 1996 AKABA diperkirakan sebesar 58 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 53 pada tahun 1992 dan turun kembali menjadi 28 pada tahun 2000. Sedangkan Angka kematian batita di D. I. Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2002) terlihat mengalami penurunan terus-menerus.
Status gizi batita merupakan salah satu indikator yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keadaan gizi, terutama sejak masa batita, akan sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan manusia dewasa. Hal ini disebabkan kecukupan gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak terutama pada masa balita yang nantinya akan menghasilkan manusia yang produktif dan berkualitas (Susenas, 2001). Berbagai studi telah mengidentifikasi faktor-faktor resiko tinggi yang mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak. Faktor-faktor itu berkaitan dengan kondisi medis, sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang mencakup salah satunya adalah penyapihan dini (Suhardjo, 2003).
Masa penyapihan pada anak merupakan masa yang sulit dimana anak mengalami masa peralihan antara disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa. Sering kali karena kurang bersihnya makanan yang diberikan anak mengalami diare setelah penyapihan. Apabila salah dalam pemberian makanan pada balita setelah penyapihan bisa berakibat penurunan status gizi pada balita (Neilson, 1997).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations Childern’s Fund (UNICEF) merekomendasikan menyusui eksklusif sejak lahir untuk 6 bulan pertama, dan meneruskannya bersama makanan pendamping Air Susu Ibu (MP – ASI) yang cukup sampai 2 tahun atau lebih,tetapi sebagian besar ibu dibanyak negara mulai memberikan bayi makanan atau minuman buatan pada umur kurang dari 6 bulan, dan banyak lagi menghentikan menyusui sebelum anak berumur 2 tahun (Depkes, 2005). Melihat begitu unggulnya ASI maka sangat disyangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang diharapkan. Penggunaan ASI yang dianjurkan adalah sampai umur 6 bulan bayi hanya diberi ASI saja, kemudian pemberian ASI diteruskan sampai umur 2 tahun bersama dengan makanan tambahan yang adekuat
Data yang diperoleh tentang lamanya pemberian ASI di Kabupaten Sleman pada tahun 2005 yaitu usia 0-5 bulan sebanyak 2.961 (7,78%), usia 6-11 bulan sebanyak 1.607 (4,22%), usia 12-17 bulan sebanyak 6.175 (16,22%), usia 18-23 bulan sebanyak 5.244 (13,78%) dan usia >24 bulan sebanyak 22.077 (58%) (Susenas 2005).
Status gizi balita di DIY pada tahun 2005 terdapat 1,20% balita mengalami gizi buruk, 9,00% mengalami gizi kurang kurang, 83,29% mengalami gizi normal, dan 6,51% mengalami gizi lebih. (DinKes Provinsi DIY, 2005). Di Kabupaten Sleman terdapat 57.548 balita, yang ditimbang sebanyak 53.265 balita. Untuk status gizi di Kabupaten Sleman terdapat 37.087 balita (64,45%) mengalami gizi normal, 301 balita (0,52%) mengalami gizi kurang. (Profil Kesehatan Kabupaten, 2005). Sedangkan di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang akan dijadikan lokasi penelitian terdapat 2,67% batita mengalami gizi buruk, 6,23% batita mengalami gizi kurang, 88,77% batita mengalami gizi baik, dan 1,78% batita mengalami gizi lebih. Untuk desa Wonokerto sendiri terdapat 317 batita, 2,20% mengalami gizi buruk, 17,03% mengalami gizi kurang, 80,21% gizi baik, dan 0,68% gizi lebih (Subdin Kesga Dinkes Sleman, 2005).
Peneliti mengambil obyek penelitian di lokasi tersebut diatas karena didasari studi pendahuluan yang menunjukkan bahwa dilokasi tersebut masih ada balita dengan gizi buruk dan gizi kurang dan juga lamanya pemberian ASI yang kurang dari 2 tahun. Berdasarkan kondisi tersebut penulis mencoba meneliti apakah ada hubungan antara lama pemberian ASI dengan status gizi batita di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu




Read more


HUBUNGAN ANTARA GEJALA KLINIS MALARIA DENGAN PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS POSITIF MALARIA DI PUSKESMAS KARANGMONCOL, KECAMATAN KARANGMONCOL, KABUPATEN PURBALINGGA

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyakarat utama di seluruh dunia. Dalam buku The World Malaria Report 2005, Badan Kesehatan Dunia (WHO), menggambarkan walaupun berbagai upaya telah dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12% pendapatan nasional dari negara-negara yang memiliki permasalahan malaria.
Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dimana hampir seluruh wilayahnya daerah endemis malaria. Malaria dapat menimbulkan beban sakit dan kematian serta mengakibatkan dampak sosial-ekonomi, khususnya bagi penduduk miskin di daerah endemis malaria (Depkes, 2003). Survai kesehatan nasional tahun 2001 mendapati angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun. United Nation Development Program (UNDP, 2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6 juta per tahun. Persentase penderita malaria pada tahun 2005 untuk Nasional sebesar 13,4%, sedangkan di Provinsi Jawa tengah sebeasr 1,12% dan di Kabupaten Purbalingga sebesar 0,13% (Bappenas, 2006).
Penduduk yang terancam malaria pada umumnya adalah penduduk bertempat tinggal di daerah endemis malaria baik daerah yang kategori daerah endemis malaria tinggi dan daerah endemis malaria sedang diperkirakan ada sekitar 15 juta (Depkes RI, 2001).
Peranan keendemikan (endemisitas) malaria, migrasi penduduk yang cepat, serta berpindah-pindah (traveling) dari daerah endemis, secara tidak langsung mempengaruhi masalah diagnostik klinis malaria. Perubahan gambaran morfologi parasit malaria, serta variasi galur (strain), yang kemungkinan disebabkan oleh pemakaian obat antimalaria secara tidak tepat (irasional), membuat masalah yang semakin sulit terpecahkan. Sementara disisi lain terdapat keterbatasan kemampuan kurang terlatihnya tenaga pemeriksa (peteknik laboratorium) yang dapat membaca preparat dengan benar menimbulkan kendala dalam memeriksa parasit malaria secara mikroskopis yang selama ini merupakan standar emas (gold standard) dalam pemeriksaan laboratoris malaria (Moody, 2002; Kakkilaya, 2003; CDC, 2004). Hal ini menimbulkan kesulitan penangananan penyakit malaria secara cepat dan tepat. Adanya kepentingan untuk mendapatkan diagnosis yang cepat pada penderita yang diduga menderita malaria merupakan tantangan untuk diagnosis dini malaria.
Kabupaten Purbalingga adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang termasuk dalam kategori daerah endemis malaria. Kendala yang dihadapi dalam pengobatan malaria di Kabupaten Purbalingga, diawali dengan kesulitan mendapatkan diagnosis dini, keterlambatan mendapat pengobatan bagi penderita dikarenakan beberapa wilayah kecamatan dan desa di Kabupaten Purbalingga merupakan wilayah terisolir, tidak tepatnya regimen dan dosis, resistensi terhadap obat anti malaria dan belum adanya obat anti malaria yang ideal. Kecamatan Karangmoncol merupakan bagian dari daerah endemis malaria di Kabupaten Purbalingga (Dinkes Purbalingga, 2008).


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA KADAR HAEMOGLOBIN ( Hb ) DENGAN PRESTASI BELAJAR PELAJAR PUTRI DI SMP BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai dengan dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif (Direktorat Gizi Masyarakat, 2002).
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kurang gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktifitas, menurunkan daya tahan, meningkatkan kesakitan dan kematian. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu, sejak janin yang masih di dalam kandungan, bayi, anak-anak, masa remaja, dan dewasa sampai usia lanjut. Ibu atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup sehingga harus dijaga status gizi dan kesehatannya, agar dapat melahirkan bayi yang sehat (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Upaya perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan secara intensif selama 30 tahun terakhir telah dapat menurunkan prevalensi beberapa masalah gizi utama, khususnya kurang energi protein (KEP), kurang energi kronis (KEK), gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A (KVA) dan anemi gizi. Namun sampai saat ini anemi gizi masih merupakan masalah gizi utama yang diderita oleh ibu hamil dan wanita pada umumnya. Anemi pada ibu hamil meningkatkan resiko terjadinya keguguran, lahir sebelum waktunya, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), lahir mati dan kematian prenatal. Ibu hamil yang menderita anemia berat dapat mengalami kegagalan jantung, yang dapat menimbulkan kematian (WHO, 2000).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN. Angka Kematian Ibu sudah menurun dari 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 343 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 (SDKI). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi anemia masih tinggi yaitu pada ibu hamil 50,9 %, ibu nifas 45,15 % , remaja putri usia 10 – 14 tahun sebesar 57,1 % dan pada wanita usia subur (WUS) adalah 39,5 % (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah, dan cepat capai. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olahraga, dan produktifitas kerja. Di samping itu daya tahan tubuh penderita kekurangan zat besi akan menurun, selanjutnya penderita mudah terkena infeksi (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Anemia disebabkan kurangnya zat besi atau Fe dalam tubuh. Hal ini karena masyarakat Indonesia khususnya wanita kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan sumber zat besi yang mudah diserap (heme-ion). Sebagian bahan makanan nabati (non heme-ion) merupakan sumber zat besi yang tinggi tetapi sulit diserap, sehingga dibutuhkan porsi yang besar untuk mencukupi kebutuhan zat besi dalam sehari. Jumlah tersebut tidak mungkin terkonsumsi (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Kebutuhan zat besi pada wanita tiga kali lebih besar dari pada kebutuhan pria. Hal ini antara lain karena wanita mengalami haid setiap bulan yang berarti kehilangan darah secara rutin dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini yang memperberat terjadinya anemia pada wanita adalah sering melakukan diet pengurangan berat badan karena faktor ingin langsing/kurus. Sehingga seringkali wanita memasuki masa kehamilannya dengan kondisi dimana cadangan zat besi dalam tubuhnya kurang atau terbatas (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Program penanggulangan anemia gizi pada WUS mempersiapkan kondisi fisik wanita sebelum hamil agar siap menjadi ibu yang sehat dan pada waktu hamil tidak menderita anemia, sedangkan pada usia remaja putri diutamakan mengkonsumsi makanan bergizi yang seimbang agar dalam masa pertumbuhan dapat terpenuhi zat besi dalam darah sehingga dalam proses belajar tidak mengalami gangguan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003)
Survei data dasar pada 10 Kabupaten di Jawa Tengah pada tahun 1998 menunjukkan angka prevalensi anemia lebih tinggi dari angka nasional yaitu pada remaja putri (SLTP dan SMU) sebesar 57,4% (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003). Menurut Hastuti dkk, (1998), di Kabupaten Magelang prevalensi anemia diketahui sebesar 48,7 %. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolisme oksidatif otak diakibatkan oleh rendahnya kandungan hem dan enzim ion dependent yang menimbulkan perubahan perilaku.
Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang ” Hubungan antara kadar Hb dengan prestasi pelajar putri SLTP Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang ”.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTAR PENGETAHUAN GIZI REMAJA PUTRI DAN STATUS GIZI REMAJA PUTRI DI SLTP NEGRI II SEWON BANTUL,YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

Latar belakang
Undang-undang kesehatan nomor 23 tahun 1992 yang memuat tujuan pembangunan kesehatan Bangsa Indonesia merupakan upaya unuk meningkatkan kesehatan secara produktif melalui paradikma sehat dengan harapan dalam jangka waktu panjang dapat mendorong masyarakat untuk bersifat mandiri menjaga kesehatanya (Depkes RI, 2003).
Pada saat ini masalah Gizi masih merupakan beban berat bagi bangsa hakekatnya berpangkal dari keadaan ekonomi dan pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi makanan, sehingga berpengaruh pada daya beli dan prilaku masyarakat yang dapat menurunkan status gizi (Irianto, 2007) menurunkan status gizi dilihat dari timbulnya berbagai kasus gizi buruk dan busung lapar sehingga harus ditanggulangi secara benar, tepat serta cepat melalui tindakan kuratif, dan rehabilitatif agar tidak terjadi korban jiwa.
Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada remaja putri, perubahan itu ditandai mulainya menstruasi. Dari tinjaun sudut ilmu masa remaja merupakan periode dari pertumbuhan dan proses kematangan manusia, pada masa ini terjadi perubahan yang sangat unik dan berkelanjutan, perubahan fisik karena pertumbuhan yang terjadi akan mempengaruhi status kesehatan dan gizinya, ketidak seimbangan antara asupan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi baik itu gizi lebih ataupun gizi kurang. (Permaisih, 2003).
Status gizi baik diusia remaja sangat diperlukan terutama remaja putri agar dimasa kehamilannya nanti sehat dan pertambahan berat badannya adekuat, tetapi hal itu seringkali diabaikan guna menjaga penampilannya dan bentuk tubuh pengetahuan tentang bagaimana cara menghitung kebutuhan energi dan protein sangat diperlukan agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan asupan. Kebutuhan energi dan protein bagi remaja putri usia 12-18 tahun berkisar antara 2200-2500 kkal dan protein sekitar 44.55-47.8 gram (Arisman, 2004).
Nutrisi pada remaja tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan makan. Kebiasaan makan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh perhatian akan penampilan tubuhnya. Usaha remaja putri menjadi langsing dilakukan melalui makan makanan yang tidak cukup bergizi. Makanan dipilih umumnya tidak banyak mengandung energi. Selain itu umumnya remaja putri malas makan, terutama makan pagi, dengan alasan agar badan tetap langsing. Kebiasan makan yang kurang benar dapat mempengaruhi masukan makanan dan akhirnya status gizi juga ikut terpengaruh. (Muniroh, 2002)
Adanya perubahan-perubahan yang menyebabkan kebutuhan zat gizi pada kelompok usia remaja bertambah, kebutuhan gizi remaja merupakan kebutuhan gizi tinggi dalam kehidupan seseorang. Kebutuhan gizi yang tinggi merupakan efek kombinasi dari pertumbuhan yang cepat dan tingkat aktifitas remaja yang umumnya tinggi. Oleh karena itu kebutuhan-kebutuhan zat gizi pada usia remaja perlu diperhatikan agar tidak terjadi penyakit akibat kekurangan gizi (Muniroh, 2002).
Masalah gizi pada remaja akan berdampak negatif pada tingkat kesehatan masyarakat, misalnya penurunan konsentrasi belajar, resiko melahirkan bayi dengan BBLR, penurunan kesegaran jasmani, banyak penelitian telah dilakukan menunjukkan kelompok remaja menderita/mengalami banyak masalah gizi tersebut antara lain anemia dan indeks massa tubuh (IMT) kurang dari batas normal atau kurus. Prevalensi anemia berkisar antara 40%-80% sedangkan prevalensi remaja dengan IMT kurus berkisar antara 30%-40%.(Permaisih, 2003).
Berdasarkan penelitaian di Jombang Jawa Barat data susenas 1999, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada remaja di Indonesia umumnya dipedesaan Prevalensi gizi buruknya sebesar 12,86% dan gizi kurang sebesar 31,22% (Muniroh, 2002). Dalam studi yang dilakukan pada tahun 2003 yang melibatkan 4.747 siswa /siswi SLTP kota Yogyakartadan 4.602 siswa/siswi SLTP Kabupaten Bantul ditemukan bahwa 7,8% remaja dikota Yogyakarta dan 2% remaja kabupaten bantul mengalami obesitas.
Sekolah lanjutan tingkat pertama negri II Sewon Bantul merupakan sekolah lanjutan, menurut survey yang dilakukan peneliti pada bulan Januari 2008 dan dilakukan studi pendahuluan pada 15 siswi di SLTP N 2 Sewon Bantul di dapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan tentang gizi ramaja masi kurang. Karena dari 15 siswi hanya 3 siswi yang bisa menjawab pertanyaan peneliti dan dari hasil pengukuran Antopometri dari 15 siswi didapat 3% dari 15 siswi mengalami gizi kurang.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai. ”Hubungan antara pengetahuan tentang gizi remaja putri dan status gizi remaja putri di SLTP Negri 2 Sewon Bantul, Yogyakarta”.?


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANEMIA GRAVIDARUM DENGAN KEJADIAN ABORTUS

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Visi pembangunan Indonesia adalah Indonesia sehat 2010 dimana pada 2010 diharapkan bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan yang sehat, berprilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga memiliki derajad kesehatan yang tinggi.
Tingginya angka kematian ibu dan bayi menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan balita di Indonesia perlu adanya pendekatan dan memperluas jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan adamya penempatan bidan, terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan yang bersifat promotif, preventif dengan tidak mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan kewenangan dan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sesuai dengan kebijakan Safe Mother Hood (SMH) dan prinsip Primary Health Care (PHC).
Dalam rangka mewujudkan Indonesia sehat 2010 seperti yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka panjang menengah 2004-2009 sasaran yang ingin dicapai oleh pembangunan kesehatan adalah meningkatkan umur harapan hidup, menurunkan angka kemtian ibu dan bayi dan menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita. Untuk mencapai hal tersebut, Departemen Kesehatan menetapakan visi masyarakat sehat yang dicapai dengan menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkatkan system surveilans, monitoring, informasi kesehatan dan meningkatkan pembiayaan. Berkaiatan dengan strategi di atas sasaran yang ingin dicapai adalah pada akhir tahun 2008 seluruh desa telah menjadi desa siaga. Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Adapun tujuan dari penyelenggaraaan desa siaga adalah meningkatkan pengetahuan kesadaran masyarakat desa akan pentingnya kesehatan meningkatkan kewaspadaaan dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap resiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, meningkatnya keluarga yang sadar gizi dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat, meningkatnya kesehatan lingkungan di desa serta meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa menolong diriny sendiri di bidang kesehatan. Kriteria sebuah desa menjadi desa siaga adalah apabiala desa tersebut memiliki sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang diselenggarakan olah bidan.
Kesehatan masyarakat merupakan salah satu pilar pembangunan nasional Indonesia untuk itu STIKES RESPATI sebagai salah satu institusi pendidikan tenaga kesehatan sangatlah perlu untuk mendalami mengenai factor-faktor yang menyebabkan kejadian kesakitan di masyarakat. Kesehatan masyarakat dipengaruhi berbagai factor untuk itulah perlu dilakukan pengkajian secara komperehensif dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat diketahui penyebab terjadinya kesakitan dan factor yang mempengaruhinya. Tenaga kebidanan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak institusi kesehatan pemerintah dalam masyarakat untuk mendukung program kesehatan yang diselenggarakan pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Dalam rangka peningkatan kompetensi dan kemampuan analisa penyebab kejadian kesakitan dan upaya peningkatan kesehatan masyarakat oleh dosen dan mahasiswa, maka perlu diadakan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa ( PKMD) bagi mahasiswa Program Studi D III Kebidanan. Sebagai calon ahli madya kebidanan harus memiliki kompetensi yang cukup sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya melalui praktek lapangan komunitas untuk mendukung program pemerintah. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengkajian sekaligus pembinaan terhadap masyarakat secara individu sehingga diperoleh permasalahan-permasalahan kesehatan dalam masyarakat dan upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan tersebut.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN HIGIENIS PERORANGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DI RUMAH SAKIT PENYANGGA PERBATASAN BETUN KABUPATEN BELU - NTT

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan pembangunan Kesehatan sesuai dengan sistem Kesehatan Nasional adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum (Depkes RI, 1999). Menurut Undang – Undang Kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 10, untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, maka diselenggarakan pelayanan kesehatan dengan pendekatan, pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI,2000).
Semakin berkembangnya IPTEK yang diikuti dengan banyaknya penyakit berbasis lingkungan yang sedang terjadi di Indonesia yang disebabkan karena kurangnnya pemahaman dan perilaku manusia terhadap kebersihan belum baik. Selain itu kurangnnya pegawasan terhadap makanan yang dimakan anak saat diluar rumah dan pengetahuan orang tua terhadap bahaya penyakit berbasis lingkungan masih rendah. Hal ini menyebabkan anak sakit, orang tua kurang memahami penyakit dan tatalaksana terhadap penyakit tersebut (Widjaja,2001).
Pada umumnya masalah penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan terbesar di Indonesia baik dikarenakan masih buruknya kondisi sanitasi dasar, lingkungan fisik maupun rendahnnya perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Dalam hal sanitasi, mareka masih memanfaatkan ’’ Toilet Terbuka’’ yang biasanya terletak di kebun, pinggir sungai, atau empang. Perilaku semacam itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, anatara lain faktor ekonomi karena untuk membuat septic Tank diperlukan biaya. Tidak tersediannya septic tank umum dan layanan yang baik unutk penyedotannya. Buang air besar ditempat terbuka (suangai atau empang) telah menjadi kepraktisan dan dilakukan banyak orang disekitarnya (Widjaja, 2001)
Kebersihan lingkungan merupakan suatu yang berpengaruh terhadap kesehatan pada umumnya. Banyaknya penyakit – penyakit lingkungan yang menyerang masyarakat karena kurang bersihnya lingkungan disekitar ataupun kebiasaan buruk yang mencemari lingkungan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penyakit yang dibawa oleh kotoran yang ada di lingkungan bebas tersebut baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu melalui perantara. Penyakit diare merupakan suatu penyakit yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Sampai saat ini, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat Indonesia. Dari urutan penyebab kunjungan Puskesmas / balai pengobatan, diare hamper selalu termasuk dalam kelompok 3 (tiga) penyebab utama masyarakat berkunjung ke Puskesmas (Judarwanto,2005)
Kecenderungan mengkonsumsi makanan yang keamanannya belum terjamin mengakibatkan sering muncul kasus – kasus keracunan atau timbulnya penyakit. Berdasarkan analisis, 60% kejadian keracunan makanan berasal dari jasa boga atau makanan. Tercatat ada sekitar 54 kasus keracunan makanan sepanjang bulan Januari – Agustus 2004. Dari kasus – kasus tersebut 3.034 orang diantarnya sakit dan 14 orang meninggal dunia. Dua kasus keracunan ini bersumber dari makanan jajanan dan sembilan kasus diantaranya terjadi di sekolah. Makanan yang terpapar racun ini adalah susu yang sudah kadaluarsa, es dan minuman yang menggunakan pewarna tekstil dan pemanis buatan, Bakso yang mengandung formalin dan Boraks (Sampurno, 2004).
Selain itu diare juga dapat terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat. Misalnya tidak mencuci tangan saat makan, makan makanan dengan tidak memperhatikan kebersihannya juga kuman yang terbawa lewat kuku yang tidak dipotong (Sampurno, 2004)
Fakta ini seolah mengatakan bahwa kesadaran penduduk Indonesia akan kesehatan teramat minim. Dan bukan tidak mungkin bahwa kesadaran yang minim tersebut disebabkan oleh tingkat pengetahuan yang kurang tentang diare, serta pencegahannya. Diare yang disertai gejala buang besar terus menerus muntah dan kejang perut kerap dianggap biasa sembuh dengan sendirinya tanpa perlu pertolongan medis (Judarwanto, 2005).
Tentang penatalaksanaan dan pencegahan diare, peran orang tua yang paling penting. Tingkat pengetahuan orang tua tentang diare sangat berpengaruh terhadap penatalaksaan dan pencegahan terhadap diare itu sendiri. Pengetahuan orang tua dengan kejadian diare dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti media masa, penyuluhan yang dilakukan tim kesehatan lingkungan maupun sumber lainnya. Selama ini persepsi yang sering muncul dimasyarakat tentang diare adalah karena proses pembuangan zat – zat sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh dan tidan memerlukan penanganan karena akan sembuh dengan sendirinya. Atau mungkin juga muncul juga persepsi jika tidak kunjung sembuh dari diare , maka orientasi seseorang menginginkan segera dapat baung air besar secara normal tanpa memperhitungkan akibat buruk dari obat diare yang tidak sesuai penggunaannya (Widjaja, 2001)
Jhon (2005) mengemukakan hasil penelitian dari Badan Pegawas Obat dan Makanan yang menyebutkan bahwa dari 120 sampel makanan yang diuji ada tujuh Kbupaten, sebanyak 80 sampel atau 50%nya tidak memenuhi mutu keamanan. Badan POM NTT menemukan nlebih dari 70% makanan menggunakan pemanis buatan.
Kecenderungan mengkonsumsi makanan diluar rumah atau jajanan yang keamanannya belum terjamin merupakan fakor utama penyebab utama keracunan atau diare (Sampurno, 2004)
Ada bermacam – macam penyebab diare misalnya infeksi, kurangnya kebersihan makanan, kurangnya higienis perorangan. Higienis perorangan meliputi banyak hal diantaranya kebiasaan makan lalapan, kebiasaan mencuci tangan dan kebiasaan mandi. Berdasarkan uraian diatas maka penulis bernaksud untuk mengetahui hubungan antara higienis perorangan dengan kejadian diare.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more

TATA CARA PEMESANAN SKRIPSI - TESIS LENGKAP

  1. DAFTARKAN FORMULIR VERIFIKASI PESANAN
  2. Selanjutnya Kirim SMS ke 0856 2926 356 . Format Isi pesan : "Judul _ spasi _Sumber: [Sendrooms] atau [paNRoom]"
  3. BIAYA DONASI PEMBAYARAN
  4. Setelah biaya pemesanan dibayar, anda harus melakukan konfirmasi melalui SMS ke 0856 2926 356 bahwa anda telah melakukan transfer ke Bank BNI No.Rek.0184 734 644 , atas Nama Herry dan Sertakan Alamat Email Anda (PEMESAN) sebagai tujuan pengiriman file skripsi yang akan kami tuju.
  5. File skripsi akan segera dikirimkan ke alamat email anda, setelah proses pembayaran dan konfirmasi SMS telah kami terima.
  6. DAFTAR FORMULIR /Sign up Now / REGISTER NOW untuk pendaftaran secara GRATISS .....
Job at home

Job at home

Whether you are looking for a succeed work at home or whether you dream about getting income online; yes, in the end, you located it!

Have economic independence

No computer skills needed. You can be completely new to manage our system - you don't need ANY experience. This is actually easy.

You may stay at room and work at your free time. Even if you don't have pc you may do this work in Online cafe or on Internet cell phone.

How it works?

We design a online-shop for you with ready to operate e-commerce solution. Your work is very simple; you have to submit material about your web-store to the Internet directories. We will provide you with very simple step-by-step instruction how to do this. The typical instruction requests you to open a web site and fill in a form with data regarding your internet-store and software.

You will be paid from US $20.00 to US 180.00 for any purchase which is comes via your web-shop.

There is no restriction for your revenue. No matter where you live your commissions are 100% guaranteed.

Sign up Now...

Register now to get economic freedom. All you need is the simple: register now and havepersonal internet company!

powered by
Socialbar