HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG PERAWATAN BAYI BBLR DENGAN TINGKAT KECEMASAN DI RUANG RAWAT GABUNG DAN RUANG NIFAS RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu kebijakan pembangunan yang diamanatkan dalam GBHN (1999) yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia. Upaya tersebut dimulai sejak janin dalam kandungan. Hal tersebut sangat tergantung pada kesejahteraan ibu termasuk kesehatan dan keselamatan reproduksinya. Oleh karena itu kesehatan ibu dan anak di Indonesia merupakan salah satu program prioritas.
Di dalam rencana strategi Nasional, Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010 disebutkan bahwa konteks rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010. Visi MPS adalah kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman, serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat. Salah satu sasaran yang ditetapkan tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian bayi di Indonesia dari 52 per 1000 kelahiran hidup menjadi 16 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan efektivitas pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan oleh Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) (Wiknjosastro, 2002).
Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 AKB di Indonesia adalah 35 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan AKB yang ingin dicapai pada tahun 2010 adalah 16 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan SDKI ini, Indonesia menduduki urutan ke enam dari negara-negara ASEAN dengan AKB terendah. Lima negara ASEAN yang memiliki AKB terendah yaitu Singapura 3 per 1. 000 kelahiran hidup, Brunei 8 per 1. 000 kelahiran hidup, Malaysia 10 per 1. 000 kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1. 000 kelahiran hidup, Thailand 20 per 1. 000 kelahiran hidup (Biro Pusat Statistik, 2005).
Bayi BBLR merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut WHO angka kejadian BBLR lebih dari 10% merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian. BBLR merupakan penyebab utama kematian bayi usia 0-1 bulan di Indonesia. Kematian bayi di usia ini merupakan seperempat dari keseluruhan kematian balita di Indonesia selama tahun 1980. Menurut Manuaba (2002) kematian BBLR sebagai penyebab kematian perinatal sebesar 25-30%.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa resiko kematian bayi baru lahir rendah mengikuti deret ukur. Semakin rendah berat lahir maka semakin tinggi resiko kematiannya (Kodim, 1993; Depkes RI, 2005).
BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram, tanpa memandang usia gestasi. Frekuensi BBLR di negara maju antara 3, 6-10, 8%, di negara berkenbang berkisar antara 10-43%. Rasio antara negara maju dan negara berkembang adalah 1: 4 (Mochtar, 2002).
Bayi dengan BBLR mengakibatkan 70% kematian neonatal dini, semakin kecil berat bayi semakin kecil kemungkinan kelangsungan hidupnya. Beberapa bayi dengan berat 500 gram atau kurang dapat terus hidup, 25% bayi dengan berat 502-720 gram dapat hidup, 50% pada bayi dengan berat badan 751-1. 000 gram. Bayi dengan berat 1. 001-1. 500 gram mempunyai kemungkinan hidup terus 75% dan yang mempunyai berat badan 1. 500-2. 499 gram mempunyai angka kemungkinan hidup 90-95% ( Llewellyn, 2000 ).
Penyebab utama dari kematian bayi di Indonesia menurut data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2001) adalah sebanyak 29% disebabkan oleh BBLR <27% disebabkan oleh asfiksia atau kesulitan bernapas, dan sisanya akibat infeksi dan sebab lain. Selain itu ada faktor yang melatarbelakangi tingginya Angka Kematian Bayi yaitu pengetahuan masyarakat, budaya, norma, sosial, ekonomi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Ada beberapa faktor resiko terjadinya BBLR yaitu faktor sosioekonomi (meliputi umur ibu, berat badan ibu), faktor riwayat kebidanan (meliputi riwayat BBLR, anemia), faktor kehamilan sekarang (meliputi hipertensi dalam kehamilan, perdarahan antepartum dan kehamilan multiple) dan faktor janin (meliputi defek kongenital dan infeksi intra uteri) (Llewellyn, 2002). Penyebab bayi baru lahir rendah yang terpenting di negara yang sedang berkembang adalah hambatan pertumbuhan janin dalam rahim (83%) dan premature (17%). Sedangkan penyebab hambatan pertumbuhan janin dalan rahim 40-45% disebabkan oleh faktor nutrisi ibu yang buruk saat hamil. Oleh karena itu berbagai upaya preventive bayi berat rendah pada prinsipnya ditujukan pada pengendalian faktor resiko kurang gizi, penyakit infeksi, kerja berat dan stress. Adapun faktor-faktor yang merupakan prediposisi terjadinya bayi baru lahir rendah adalah faktor ibu, faktor janin, keadaan sosial ekonomi yang rendah, dan faktor yang tidak diketahui. Faktor dari ibu yang beresiko dalam kehamilan yang bisa menyebabkab kejadian BBLR ada yang disebut dengan ” 4 terlalu” yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu sering. Terlalu muda, yaitu usia ibu saat hamil <20 tahun dan terlalu tua > 35 tahun, terlalu banyak (hamil > 3), terlalu sering (jarak kehamilan <2 tahun) (Depkes, 2002). Apabila IMR di suatu wilayah tinggi menunjukkan bahwa status kesehatan tersebut rendah. Data yang ada saat ini memperlihatkan bahwa status kesehatan anak di Indonesia masih merupakan masalah yang serius. Angka kematian bayi masih tinggi yaitu sebesar 66,4 per1000 kelahiran hidup dan 35,9 % anak yang lahir mempunyai risiko tinggi dan mengarah pada kesakitan maupun kematian bayi (Litbang Depkes, 2007).. Angka kematian bayi menurut Dinkes Kabupaten Klaten (2007) mencapai 288 per 1000 kelahiran hidup dengan data masing-masing kasus BBLR 43 kasus (14,9%), asfiksia 73 kasus (25,3%), IUFD 55 kasus (19,1%), sepsis 12 kasus (4,2%), jantung 6 kasus (2,1%), hipotermi 2 kasus (0,7%). Hasil studi pendahuluan di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro pada tahun 2007 angka kejadian BBLR adalah 338 kasus dari 1764 total persalinan. Penyebab BBLR sampai saat ini masih terus dikaji. Beberapa studi menyebutkan penyebab BBLR multi faktor, antara lain faktor demografi, gizi, periksa hamil, dan paparan toksik seperti merokok. Bayi-bayi berat lahir rendah mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk meninggal dunia sebelum berumur satu tahun 17 kali lebih besar daripada dengan berat lahir normal. Akibat ekstrim untuk masalah BBLR, sampai saat ini masih banyak ditemukan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah akan mengalami banyak masalah dan pada akhirnya dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada bayi (Setyowati dkk, 1999). BBLR lebih sering terjadi pada ibu-ibu yang mempunyai status ekonomi rendah dan status gizi buruk. Saat hamil mempunyai riwayat hipertensi, infeksi virus atau penyakit lainnya, atau menggunakan obat-obatan secara ektensif sebelum dan selama hamil. BBLR yang disebabkan oleh kelahiran premature sering dikaitkan dengan kehamilan ganda atau rendahnya pertambahan berat badan selama hamil (< 7 kg) atau berlebihan (> 16 kg), perokok, alkoholik, dan yang lainnya (Jumirah dkk, 2002).
Pengetahuan ibu mengenai perawatan bayi berat badan lahir rendah merupakan sarana yang sangat menolong orang tua. Mereka membutuhkan informasi peralatan dan tindakan perawatan terhadap bayi tersebut, sehingga ibu akan ikut berpartisipasi dalam perawatannya, serta mampu menghadapi kenyataan secara fisik maupun emosional. Dengan demikian diharapkan peran serta keluarga terutama ibu dalam pembentukan ikatan kasih sayang, yang memberikan rasa aman pada bayi. Perawat memberikan kesempatan pada orang tua untuk mengidentifikasi bayi antara kenyataan dengan harapannya selama ini, akan berpengaruh pada hubungan orang tua dan bayinya di masa datang.
Kurang pengetahuan ini menyebabkan masalah respon-respon berupa kecemasan pada ibu. Kecemasan ini dapat berupa ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu tidak menyenangkan karena anaknya mengalami BBLR. Ibu mungkin mengalami suatu krisis. Ibu akan mulai merasa ketakutan dan membayangkan hal-hal yang negatif tentang sesuatu yang akan menimpa anaknya. Ibu mengalami ketakutan akan kehilangan anak sebagai akibat kurang pengetahun dalam merawat anaknya yang memiliki kondisi tidak sempurna. Di lain pihak, penundaan kontak antara ibu dan bayi yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan ibu akan menimbulkan stres baik pada ibu maupun bayi, dan akan mempengaruhi peran ibu dalam perawatan lanjutan di rumah (Barbara, 1999).



Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :



Read more


HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMAMPUAN MOBILISASI DINI PADA IBU NIFAS HARI PERTAMA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan di bidang kesehatan harus dilaksanakan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, karena pada dasarnya pembangunan nasional di bidang kesehatan berkaitan erat dengan peningkatan mutu sumber daya manusia yang merupakan modal dasar dalam melaksanakan pembangunan. Salah satu indikator untuk menentukan derajat kesehatan suatu bangsa ditandai dengan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan bayi. Hal ini merupakan suatu fenomena yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan (Saleha,2009: 1).
Mencapai tingkat kesehatan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan (nifas), bayi dan keluarga serta masyarakat, asuhan masa nifas merupakan salah satu bidang pelayanan kesehatan yang harus mendapat perhatian baik oleh petugas kesehatan seperti dokter kebidanan, bidan dan perawat maupun ibu itu sendiri (Maryunani, 2009: 1 ). Masa nifas merupakan hal penting untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Dari berbagai pengalaman dalam menanggulangi kematian ibu dan bayi di banyak negara, para pakar kesehatan menganjurkan upaya pertolongan difokuskan pada periode intrapartum. Upaya ini terbukti telah menyelamatkan lebih dari separuh ibu bersalin dan bayi baru lahir yang disertai dengan penyulit proses persalinan atau komplikasi yang mengancam keselamatan jiwa. Namun, tidak semua intervensi yang sesuai bagi suatu negara dapat dengan serta merta dijalankan dan memberi dampak menguntungkan bila diterapkan di negara lain (Saleha,2009: 2).
AKI di negara maju berkisar 5-10 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara berkembang berkisar antara 750-1000 kelahiran hidup (Wiknjosatro, 2006: 23). Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, infeksi, eklamsi, dan komplikasi persalinan (Saifuddin, 2002: 6).
Badan World Health Organization Coalition For Improving Maternity Services (CIMS) melahirkan Safe Motherhood Intiative yang merumuskan asuhan sayang ibu, sehingga bidan sebagai tenaga kesehatan berperan penting terhadap masalah kecemasan terutama dalam memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif baik psikososial maupun spiritual kepada pasiennya dan dapat mengidentifikasi timbulnya komplikasi dengan mengenali tanda maupun gejala lebih awal.
Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah dengan Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dirancangkan oleh presiden Republik Indonesia pada peringatan hari ibu ke 68 tahun 1996 salah satu programnya meningkatkan cakupan pelayanan nifas 90%, dukungan informative, mental dari berbagai pihak khususnya tenaga kesehatan dan keluarga (Manuaba, 2001:41).
Upaya peningkatan wawasan dan pengetahuan kaum ibu mengenai hak reproduksi dan hak kesehatannya tidak dapat dilepaskan dari peran serta aktif masyarakat melalui berbagai kelompok pelayanan kesehatan di kota yogyakarta dalam sambutan tertulisnya pada Sosialisasi Satgas Gerakan Sayang Ibu (GSI) (Dinas Perhubungan,Komunikasi dan Informatika, 2010).
Sebagian perempuan menganggap bahwa masa–masa setelah melahirkan adalah masa–masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Gangguan–gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Gangguan perasaan selama periode masa nifas merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. (Klinis , 2007).
Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama karena tidak optimal kemampuan ibu nifas untuk melakukan perawatan nifas khususnya melakukan mobilisasi dini (Saifudin, 2006: 2). Mobilisasi sangat penting dilakukan secara dini karena untuk mempertahankan kemandirian yaitu berujuan membantu jalannya penyembuhan ibu setelah melahirkan, pencegahan dalam komplikasi pada ibu yaitu infeksi perineum, mendeteksi secara dini ibu nifas dalam masalah perkemihan, serta mendorong ibu secara mandiri merawat bayinya dan menumbuhkan keeratan antara ibu dan bayinya. Ibu yang yang melakukan mobilisasi dini maka penyembuhannya berlangsung secara cepat, berbeda dengan ibu yang tidak melakukan mobilisasi dini akan merasa lemas karena badan tidak digerakkan.
Masyarakat yang beranggapan bahwa melakukan mobilisasi dini setelah melahirkan menyebabkan proses penyembuhan luka jahitan perineum menjadi lambat. Sehingga ibu dilarang untuk melakukan gerakan aktif. Hasil suatu penelitian terhadap 1.000 orang pasien di 16 rumah sakit di luar negeri menunjukkan bahwa imobilitas (diderita oleh 14,2% pasien) mendapat peringkat ke empat faktor resiko thrombosis (Sarwono, 2002:122). Akibat jika tidak melakukan mobilisasi dini adalah terjadinya peningkatan suhu badan karena terjadi infeksi pada perineum dan perdarahan yang abnormal karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah terbuka
Suatu rencana asuhan diformulasikan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan ibu dan keluarganya. Sedapat mungkin bidan melibatkan mereka semua dalam rencana dan mengatur prioritas serta pilihan mereka untuk setiap tindakan yang dilakukan. Hasil akhir atau tujuan yang diinginkan dicapai disusun dengan istilah yang berpusat pada pasien dan diprioritaskan dengan bekerja sama dengan ibu dan keluarga. Tujuan yang ingin dicapai adalah ibu postpartum akan mengalami pemulihan fisiologi tanpa komplikasi (Saleha,2009: 79).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh penulis pada bulan januari 2010 terhadap 5 ibu nifas hari pertama di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dari 4 ibu nifas tidak melakukan mobilisasi dini karena ibu takut jahitannya lepas dan nyeri pada perutnya. Dengan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dengan mobilisasi dini ibu nifas hari pertama di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.



Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :



Read more


HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI IBU MENYUSUI DENGAN STATUS GIZI BAYI UMUR 0 – 6 BULAN DI POSYANDU DESA SRI MARTANI PIYUNGAN BANTUL YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak juli 1997, cukup mengakibatkan dampak negatif pada masyarakat, terutama pada masyarakat ekonomi lemah. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan sehingga masyarakat miskin semakin bertambah. Daya beli untuk membeli pangan menjadi menurun banyak keluarga yang tidak mampu lagi menyediakan makanan untuk keluarga. Defisiensi nutrisi yang berkepanjangan akan berakibat buruk pada status gizi terutama pada anak yang berumur dibawah lima tahun (Suhartono, 2000).
Profil lain yang juga menggambarkan rendahnya kualitas kesehatan di Indonesia adalah masih tingginya angka kematian bayi. Tahun 2004, angka kematian bayi adalah 37 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara negara tetangga terdekat seperti Malaysia hanya 6 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup dan Thailand 20 per 1.000 kelahiran hidup (Samhadi, 2006).
Kondisi kesehatan masyarakat Indonesia saat ini sedang terpuruk, hal ini ditandai dengan fenomena temuan kasus-kasus gizi buruk di beberapa daerah di Indonesia. Kondisi ini menambah situasi rumit karena belum tuntasnya masalah kesehatan lain seperti penyakit infeksi (campak, polio, diare, TBC) dan ada kecenderungan meningkatnya penyakit degeneratif di beberapa bagian masyarakat di Indonesia. Lebih jauh dijelaskan bahwa keadaan ini mungkin disebabkan rendahnya kesadaran penduduk Indonesia untuk hidup sehat, upaya kesehatan belum dikaitkan dengan pembangunan sumber daya manusia, kebijakan dan peraturan perundangan kesehatan yang tidak mendukung. Ditambah lagi dengan keadaan perekonomian negara yang tidak stabil, dimana masih banyak penduduk miskin sehingga daya beli menjadi rendah, termasuk juga akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Sampoerno, 2006).
Pada tahun 2000 penurunan gizi kurang cukup berarti, akan tetapi setelah tahun 2000 gizi kurang meningkat kembali. Gambaran yang terjadi pada gizi buruk yaitu dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 27,5%, kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1989 yaitu sebesar 37,5%, atau terjadi penurunan sebesar 10 % (Samhadi, 2006).
Status gizi ibu menyusui baik akan memberikan konstribusi yang baik pada bayi dalam berat badannya, namun bila status gizi ibu menyusui buruk akan berpengaruh dalam berat badan bayi. Salah satu cara untuk menilai status gizi ibu menyusui adalah dengan pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dengan tujuan untuk mengetahui resiko KEK pada ibu menyusui, apabila ukuran lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm maka ibu menyusui tersebut mempunyai resiko kekurangan energi kronis (Supariasa et al, 2002).
Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan proporsi LILA < 23.5 cm, sebesar 24.9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat status gizi pada anak balita (Azwar, 2006). Pada tahun 2005 ditemukan 1,8 juta balita dengan status gizi buruk, dalam jangka waktu Peningkatan jumlah anak balita yang mengalami status gizi buruk yang sangat singkat pada tahun 2006 menjadi 2,3 juta balita menderita gizi buruk, sementara masih ada 5 juta lebih anak balita lainnya yang mengalami status gizi kurang (Samhadi, 2006). Kurang gizi menyebabkan anak tidak produktif, masalah gizi bisa mempengaruhi perkembangan otak bayi. Jika bayi kekurangan gizi, bisa mengganggu pertumbuhan hidupnya. Pemenuhan gizi tersebut tergantung dari orang tuanya. Pada tahun 2005 gizi kurang terdapat 19,2%, gizi buruk 8,8%. Untuk usia 0-5 bulan gizi buruk 8,5%, usia 6-11 bulan 14,2%, usia 12-23 bulan 20% (BKKBN-Berita, 2006). Wilayah Kabupaten Sleman Provinsi Yogyakarta, dikenal sebagai daerah paling makmur bila dibanding dengan wilayah kota dan seluruh kabupaten yang ada di provinsi ini, namun diketahui masih ada 19.978 jiwa yang tergolong hidup bergizi buruk / kurang. Penduduk bergizi buruk sebanyak itu, terdiri atas ibu hamil 774 orang, ibu menyusui 1.615 orang, ibu nifas 359 orang, 889 bayi, 7.683 balita dan anak pra sekolah sebanyak 8.478 orang (Pikiran Rakyat, 2002). Sedangkan pada tahun 2007 sekitar 200 bayi diketahui mengalami kondisi gizi lebih, gizi buruk yang dialami pada bayi hampir 300 angka ini lebih tinggi dari pada gizi lebih (Anwar, 2007). Sedangkan di Piyungan Bantul merupakan daerah pedesaan yang didapat bahwa bayi yang gizi buruk sekitar 1,01%, bayi gizi baik 56,5% meningkat menjadi 60,9%, bayi gizi kurang 25,8% menurun menjadi 20%, gizi lebih 23,42% menurun menjadi 13,90% (Azwar, 2007). Sedangkan ibu menyusui yang mempunyai resiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) sebanyak 23,4% pada ibu menyusui yang memiliki bayi (Azwar 2007). Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai status gizi ibu menyusui dengan status gizi bayi umur 0-6 bulan di Posyandu Sakura Desa Sri Martani Piyungan Bantul. Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA POLA PEMBERIAN ASI TERHADAP KEJADIAN ANEMIA PADA BAYI 6 BULAN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anemia defisiensi besi pada anak adalah masalah kesehatan yang besar di dunia. Di negara-negara berkembang, 40-45% dari anak umur 0-4 tahun menderita anemia, dan di Asia Tenggara masalah tersebut mencapai 60-70% (De Pee dkk., 2002). Prevalensi anemia gizi besi di Indonesia untuk anak usia 6bulan - 5tahun sekitar 24% dari kalangan ekonomi mampu dan sekitar 38 -73% berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu. Sebagian besar penyebab anemia di masyarakat adalah kekuranga zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan besi atau anemia gizi besi. (Hardjojoewono, 1990).
Anemia kekurangan besi selama hamil berhubungan dengan tingginya angka bayi prematur dan berat badan lahir rendah. anemia berat meningkatkan resiko kematian ibu saat melahirkan. Kekurangan besi bagi bayi mempengaruhi perkembangan psikomotor yang terlambat lebih dari 10 tahun walaupun setelah pemulihan anemia besi selama bayi (O’Brien dkk., 2003).
Masalah defisiensi besi merupakan penyebab langsung gizi kurang pada bayi dan anak. Hal ini berdampak tidak saja terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Pemenuhan kebutuhan gizi bayi 0-6 bulan mutlak diperoleh melalui air susu ibu (ASI) bagi bayi dengan ASI ekslusif. Berdasarkan hal ini maka upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan dilakukan melalui perbaikan gizi sebelum dan pada masa pemberian ASI ekslusif. Selain itu Bank Dunia 2006 mengemukakan bahwa upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan didasarkan bahwa gizi kurang pada usia kurang dari 2 tahun akan berdampak terhadap penurunan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kecerdasan, dan produktifitas. Dampak ini sebagian besar tidak dapat diperbaiki.
Di Indonesia hanya 14% bayi mendapatkan ASI ekslusif sampai usia 5 bulan dan hanya 8% bayi mendapat ASI ekslusif sampai usia 6 bulan (Depkes. 2004).
Anemia yang terjadi pada ibu menyusui akan berdampak terhadap kemampuan untuk memproduksi ASI yang cukup dimana cadangan atau jaringan ibu akan dipakai untuk memproduksi ASI sehingga ibu sangat beresiko terhadap terjadinya gizi kurang dan anemia yang lebih berat.
Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, berat badan lahir rendah, abrution placenta dan cadangan zat besi yang berkurang pada bayi yang dilahirkan sudah dalam keadaan anemia (soetjiningsih, 1998). Bayi yang menderita defisiensi besi akan lebih mudah mengalami infeksi dan keterlambatan perkembangan konginitif dan psikomotor yang mungkin dapat menetap, bahkan setelah mengalami masa penyembuhan anemia. Dampak merugikan ini dilaporkan terjadi pada bayi yang mempunyai kadar hemoglobin dibawah 11 g/dl, dan kemudian berkembang menjadi anemia yang lebih berat dan kronis (Killbride dkk., 1999).
Pendapat umum menyatakan bahwa anemia pada bayi tidak ada hubungannya dengan status besi ibu selama hamil kecuali jika ibu menderita anemia sangat berat. Beberapa penelitian juga menyimpulkan tidak ada hubungan bermakna antara kedua variabel tersebut. Data prevalensi anemia dan defisiensi besi pada bayi masih sangat kurang. Hal ini disebabkan asumsi umum yang menyatakan bahwa bayi yang lahir cukup bulan dan dengan berat badan normal memiliki cadangan besi untuk 4-6 bulan pertama di kehidupannya. Banyak bukti yang terkumpul (dari banyak penelitian) menunjukan bahwa bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal dari ibu yang anemia ternyata mempunyai cadangan besi rendah dan cenderung menderita anemia (De Pee dkk., 2002)
Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah defisiensi besi seperti penyuluhan gizi, pemberian bantuan pangan, suplemen gizi, diversifikasi pangan, dan Fortifikasi pangan. Fortifikasi merupakan intervensi gizi dengan rasio manfaat-biaya (benefit cost ratio) tertinggi dibanding intervensi gizi lain. Zat gizi yang digunakan dalam fortifikasi makanan bertujuan memperbaiki status gizi ibu menyusui agar menghasilkan ASI optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.
Berdasarkan survei kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, prevalensi anemia pada balita 0-5 tahun sekitar 47%, anak usia sekolah sekitar 26,5% dan wanita usia subur (WUS) bekisar 40%. Sementara survei di DKI Jakarta tahun 2004 menunjukan angka prevalensi anemia pada balita sekitar 26,5% dan pada ibu hamil 43,5%. Melihat beberapa hasil survei ini, anemia gizi masih merupakan masalah gizi utama pada anak-anak, ibu hamil, dan wanita pada umumnya. (http : //www.info-sehat.com/content.Php.sid. Diakses Tanggal 18 februari 2008).
Sutaryo mengungkapkan bahwa saat ini telah terjadi kekurangan zat besi pada anak-anak dalam kondisi cukup memprihatinkan Di Indonesia kasus anemia defisiensi besi saat ini diketahui telah terjadi pada anak-anak atau bayi mulai umur 3-5 bulan. Di DIY sendiri sekitar 75% anak berusia 6 bulan telah mengalami anemia defisiensi besi.
Setelah melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Depok I sleman Yogyakarta bayi yang mendapatkan ASI eksklusif terdapat 0,05% dari 8685 bayi pada tahun 2007. Angka kejadian sakit pada tahun 2007 terdapat sekitar 50.05% dari jumlah bayi yang ada.
Berdasarkan masih tingginya prevalensi anemia pada bayi usia 6 bulan dan ibu menyusui serta pentingnya ASI bagi tumbuh kembang bayi 0-6 bulan maupun peranan besi dalam pertumbuhan bayi maka dilakukan studi “Hubungan antara Pola Pemberian ASI terhadap kejadian anemia pada bayi 6 bulan yang akan dilaksanakan di Posyandu yang berada di wilayah kecamatan depok yogyakarta


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA POLA PEMBERIAN ASI DENGAN PERTAMBAHAN BERAT BADAN BALITA USIA 6-23 BULAN DI POSYANDU RW IV KELURAHAN COKRODININGRATAN JETIS KOTA YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi pada awal kehidupannya karena ASI mengandung seluruh zat-gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan serta mengandung zat-zat imunologis yang dapat melindungi bayi dari infeksi. Hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa pemberian ASI saja dapat menurunkan angka kematian bayi, terutama kematian karena diare dan infeksi saluran pernapasan akut (WHO, 2001).
Pentingnya ASI bagi kehidupan bayi sudah menjadi perhatian tingkat dunia, sehingga Badan Dunia UNICEF merekomendasikan penggunaan ASI sebagai salah satu butir rencana strategis untuk menurunkan angka kematian bayi yang juga merupakan salah satu sasaran dari Milenium Development Goals (Gillespie, 2003).
Zat kekebalan yang terkandung dalam ASI akan melindungi bayi dari penyakit mencret (diare). Bayi ASI eksklusif lebih sehat dibanding bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. Anak sehat tentu lebih baik pertumbuhann dan perkembangannya dibanding anak yang sering sakit (Gillespie, 2003).
Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk meningkatkan minat dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya ASI untuk bayi. Hal itu tercermin dengan diterbitkannya oleh Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan 13 pesan pedoman umum gizi seimbang (PUGS) dengan salah satu butirnya adalah memberikan hanya air susu ibu (ASI) sampai bayi berusia 6 (enam) bulan (Soekiman, 2000).
WHO dan UNICEF saat ini merekomendasikan pemberian ASI harus terus dilakukan hingga 2 tahun dan dimungkinkan lebih lama lagi. Bukti kelanjutan pemberian ASI dalam tahun kedua paling kuat dalam keadaan-keadaan dimana higienitas buruk dan tingkat infeksi tinggi. Dalam kondis-kondisi seperti ini, pemberian ASI yang diperpanjang (hingga 2 sampai 3 tahun) telah terbukti mampu melindungi dari penyakit-penyakit infeksi dan mempunyai hubungan positif dengan ketahanan hidup anak (Sarwono, 2002).
Di negara-negara industri, manfaat dari diperpanjangnya pemberian ASI masih kurang terbukti. Sebagai akibatnya, Akademi Pediatri Amerika merekomendasikan pemberian ASI setidaknya 12 bulan dan melanjutkan selama ibu dan sang bayi menginginkan, sedang negara-negara Eropa seperti Denmark dan Inggris cenderung untuk tidak memberikan rekomendasi tentang durasi pemberian ASI setelah 6 bulan pertama. Karena itu untuk WHO wilayah Eropa merekomendasikan bahwa pemberian ASI lebih baik perlu dilanjutkan setelah tahun pertama, dan pada populasi masyarakat dengan tingkat infeksi tinggi meneruskan pemberian ASI selama tahun kedua dan sesudahnya akan menguntungkan bagi bayi (Sarwono, 2002).
Rekomendasi WHO/UNICEF pada pertemuan tahun 1979 di Geneva tentang makanan bayi dan anak antara lain berisi “Menyusukan merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Memberikan susu formula sebagai tambahan dengan dalih apa pun pada bayi baru lahir harus dihindarkan” (Sarwono, 2002).
Di Indonesia ibu yang tidak memberi ASI sebanyak 3-4%., sementara 85% ibu memberi ASI sampai bayi berusia 6 bulan. Setelah bayi berusia 6 bulan mutu dan jumlah ASI berkurang sehingga bayi perlu mendapat makanan. Kurang lebih 40% bayi kurang dari 2 bulan diberi makanan pendamping ASI seperti air matang, susu botol (9%), dan makanan padat (20%). Sementara itu 71% bayi berumur 4-5 bulan sudah diberi makanan padat dan 87% bayi berumur 6-7 bulan sudah diberi makanan padat (BPS, NFPCB, MOH, and MI, 1995).
Pengenalan makanan-makanan tambahan bukan berarti penghentian pemberian ASI. Sebaliknya untuk tahun pertama ASI harus diberikan sebagai sumber makanan utama, dan harus diberikan antara sepertiga dan setengah dari total masukan energi rata-rata sampai akhir tahun pertama. Maksud dari pemberian makanan tambahan adalah untuk menyediakan energi dan nutrisi tambahan, dan idealnya makanan-makanan tambahan ini tidak menggantikan ASI selama 12 bulan pertama. Untuk menjamin volume ASI tetap terjaga, dan untuk menstimulasi produksi susu, para ibu harus terus menyusui bayi-bayi mereka dengan sering selama periode pemberian makanan tambahan (Pediatrics, 2004).
Salah satu suksesnya pemberian ASI adalah memberikan ASI setengah jam pertama setelah lahir. Hasil penelitian menunjukkan hanya 8,3% bayi mendapat ASI setengah jam pertama setelah lahir. WHO menganjurkan pemberian ASI sampai dengan usia 6 bulan, ternyata semakin besar usia bayi semakin rendah presentase pemberian ASI. Rekomendasi dari “Innocenti Declaration” adalah pemberian ASI sampai dengan usia 24 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lamanya bayi mendapat ASI adalah umur 23.9 bulan (Depkes, 2003).
Proporsi anak umur 12-15 bulan yang masih mendapat ASI, menurut SDKI dan Susenas adalah tahun 1997 untuk laki-laki (80,4%), perempuan (80,4%), diperkotaan (80,3%), sedangkan didesa (82,6%). Tahun 1999 untuk laki-laki (81,0%), perempuan (80,9%), diperkotaan (81,2%), dan didesa (84,3%). Menurut SDKI tahun 1991 (87,4%), tahun 1994 (88,2%), dan tahun 1997 (86,0%) (Depkes, 2003).
Proporsi bayi umur 6-9 bulan yang mendapat MP-ASI menurut SDKI dan Susenas yaitu tahun 1997 untuk laki-laki (88,4%), perempuan (88,7%), diperkotaan (88,1%), dan didesa (88,7%), sedangkan pada tahun 1999 untuk laki-laki (90,2%), perempuan (91,3%), diperkotaan (88,8%), dan didesa (90,5%). Sedangkan menurut data Susenas tahun 1991 (81,2%), tahun 1994 (85,3%), dan tahun 1997 (80,9%) (Depkes, 2003).
Menyebutkan bahwa keluhan ASI kurang tidak saja datang dari ibu-ibu yang berstatus gizi kurang, namun juga dari ibu-ibu yang ststus gizinya baik. Hal ini dapat saja terjadi, karena ibu-ibu yang berstatus gizi baik kebanyakan adalah wanita karier dimana frekuensi pemberian ASI berkurang, sehingga produksi ASI juga berkurang (Irawan, 1999).
Tentang hubungan status gizi ibu menyusui terhadap pertumbuhan bayi atau status gizi bayi, Jelliffe dan Jelliffe (2000) menyatakan, bahwa kejadian dini marasmus pada bayi dalam 6 (enam) bulan pertama kehidupan lebih banyak dialami oleh bayi dari ibu-ibu yang status gizinya jelek (Jelliffe dan Jelliffe, 2000).
Konsumsi gizi dan kapasitas kerja ibu mempengaruhi status gizi ibu selama menyusui, selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan ibu menyusui bayinya (Dewey, dkk, 2001). Kebutuhan energi ibu yang menyusui bayi kurang dari 6 (enam) bulan berkisar antara 2800-2900 kcal/hari. Hasil penelitian Hadja dan Astuti (2002) di Sulawesi Selatan, menggambarkan konsumsi energi ibu-ibu balita hanya 1126 kcal atau hanya 38,8% dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil penelitian ini diperkuat oleh temuan Kusin dan Kardjati (1999) di Madura dimana growth-faltering terjadi pada bayi kurang dari 6 (enam) bulan sebagai akibat asupan zat gizi yang buruk dari ASI, karena sebagian besar ibu-ibu di Madura memulai laktasi dengan tidak cukup simpanan lemak selama kehamilan (Irawati dkk, 2002).
Di wilayah Posyandu RW IV Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta yang merupakan daerah yang mendekati perkotaan namun data tentang Balita yang diberi ASI sampai 2 tahun masih sedikit yaitu sekitar 24% balita dari jumlah seluruhnya 50 balita. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Pola Pemberian ASI Dengan Pertambahan Berat Badan Balita Usia 6-23 bulan di Posyandu RW IV Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI DAN PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR PADA ANAK USIA 6 BULAN SAMPAI 2 TAHUN DI POSYANDU GENDIS I WILAYAH PLAWIKAN, JOGONALAN, KLATEN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anak merupakan sumber daya manusia yang penting sebagai penerus generasi yang akan datang. Masa anak terutama 0 – 5 tahun yang disebut sebagai anak balita merupakan salah satu masa rumit, kritis, penting, dan penuh risiko karena pada masa 5 tahun pertama kehidupan dibentuk dasar-dasar kepribadian, kemampuan fisik, organik, intelektual, proses berfikir, perkembangan keterampilan bahasa dan bicara, bertingkah laku sosial atau bersosialisasi (Ismail, 2004).
Air susu ibu (ASI) adalah makanan terbaik bayi pada awal usia kehidupannya. Hal ini tidak hanya karena ASI eksklusif mengandung zat gizi tetapi ASI juga mengandung zat imunologik yang melindungi bayi dari infeksi. Praktik menyusui di Negara berkembang telah berhasil menyelamatkan sekitar 1,5 juta bayi pertahun. Atas dasar tersebut WHO merekomendasikan untuk hanya memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 4-6 bulan. Stiven Allen (dalam siaran pers UNICEF, 2004) mengatakan bahwa ASI bukanlah sekedar makanan tetapi penyelamat kehidupan. Setiap tahunnya lebih dari 25.000 bayi Indonesia dan 1,3 juta bayi di seluruh dunia dapat diselamatkan dengan pemberian ASI eksklusif pada tahun 1999. ASI mengandung semua nutrisi yang diperlukan bayi untuk bertahan hidup pada 6 bulan pertama mulai dari hormon, antibodi, faktor kekebalan sampai anti oksidan. Anak-anak yang tidak diberi ASI eksklusif akan cepat terjangkit penyakit seperti Kanker, Jantung, Hipertensi, Diabetes setelah dewasa. Kemungkinan anak akan menderita kekurangan gizi dan obesitas lebih besar (SDKI, 2007).
Semakin banyak bayi mendapat ASI, maka dalam perkembangan kelak anak akan lebih sehat, lebih cerdas, lebih stabil emosinya, lebih peka sifat sosial dan lebih kuat sifat spiritualnya (BKKBN, 2006). Selama ini alat pemantauan pemberian ASI dirasa belum ada sehingga cakupan pemberiaannya masih sangat rendah. Untuk tahun 2003 cakupan ASI eksklusif baru mencapai 17,60%, masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target yang diharapkan yaitu 80% bayi yang mendapat ASI eksklusif. Tindakan nyata yang sudah dilakukan oleh tenaga kesehatan berupa penyampaian informasi kepada semua ibu yang baru melakukan untuk memberikan ASI eksklusif.
Ada sejumlah kendala mengapa ASI eksklusif tidak sampai ke bayi, diantaranya karena bayi langsung dimandikan setelah lahir, langsung diberi susu formula, dan ditempatkan terpisah dari ibu saat dirumah sakit. Pemberian ASI menurut Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) mampu meningkatkan intelektualitas sumber daya manusia (Anonim, 2004)
UNICEF menyebutkan bukti ilmiah terbaru yang dikeluarkan oleh Jurnal Paediatrics pada tahun 2006, terungkap data bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki kemungkinan untuk meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya. Peluang itu 25 kali lebih tinggi dari bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif. Banyaknya kasus kurang gizi pada anak-anak berusia di bawah 2 tahun yang sempat melanda beberapa wilayah Indonesia dapat diminimalisir melalui pemberian ASI secara eksklusif. Oleh sebab itu sewajarnya ASI Eksklusif dijadikan sebagai prioritas program di negara berkembang ini (Anonim, 2006).
Ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara menyusui dengan benar, serta pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh para produsen susu formula, merupakan faktor penghambat bagi terbentuknya kesadaran orang tua di dalam memberikan ASI Eksklusif. Gencarnya promosi susu formula di duga menjadi penyebab menurunnya jumlah bayi yang mendapat Air Susu Ibu. Berdasarkan survey demografi dan kesehatan Indonesia tahun 1997 dan 2003, angka pemberian ASI Eksklusif turun dari 49% menjadi 39%, sedangakan penggunaan susu botol naik menjadi 3 kali lipat (Anonim, 2006).
Banyak pihak mengakui, bahwa ASI merupakan cairan hidup dan paling tepat untuk bayi dalam kehidupannya. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan kode etik yang mengatur agar bayi wajib diberi ASI eksklusif sampai usia minimal 6 bulan. Organisasi Kesehatan Dunia menyarankan agar pemberian ASI diberikan kepada bayi sampai usia 2 tahun dengan dilengkapi makanan tambahan. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan keputusan baru Menkes sebagai penerapan kode etik WHO. Dalam keputusan ini dicantumkan soal pemberian ASI eksklusif Permenkes Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 (Anonim, 2004).
Sejak dahulu, masalah perkembangan anak telah mendapat banyak perhatian. Pada saat ini bebagai metode deteksi dini untuk mengetahui gangguan perkembangan anak telah dibuat. Demikian pula dengan skrining untuk mengetahui penyakit-penyakit yang potensial dapat mengakibatkan gangguan perkembangan anak karena deteksi dini kelainan perkembangan anak sangat berguna, agar diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan lebih awal, sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung seoptimal mungkin (Soetjiningsih, 1998).
Gangguan perkembangan masa anak adalah berbagai jenis masalah perkembangan potensial yang terjadi pada masa yaitu usia anak 0 – 12 tahun. Pada dasarnya, tiap-tiap tahap perkembangan memiliki potensi gangguan perkembangan berbeda-beda, tergantung pada tugas perkembangan yang diemban masing-masing usia (Anonim, 2007).
Gerakan (motorik) kasar adalah semua gerakan yang mungkin dilakukan oleh seluruh tubuh. Perkembangan motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerakan tubuh dan perkembangan tersebut erat kaitannya dengan perkembangan motorik di pusat.
Tes yang umum digunakan untuk memantau perkembangan motorik adalah tes Denver. Tes ini membagi perkembangan anak menjadi empat yaitu perkembangan personal sosial, perkembangan bahasa, serta perkembangan motorik kasar dan motorik halus adaktif.
Pada Posyandu Gendis I yang ada di wilayah Jogonalan Klaten terdapat sekitar 40 anak yang berusia 6 bulan sampai 2 tahun. Alasan peneliti melakukan penelitian ini karena ASI sangat penting dan mencukupi semua kebutuhan bayi. Bayi yang tidak mendapatkan ASI akan mudah terkena infeksi. Jika sekarang banyak balita mengalami gizi buruk atau busung lapar, karena anak itu tidak mendapatkan ASI. Untuk masalah motorik pada keadaan kurang energi dan protein (KEP), anak menjadi tidak aktif, apatis, pasif, dan tidak mampu berkonsentrasi. Akibatnya, anak dalam melakukan kegiatan eksplorasi lingkungan fisik disekitarnya, hanya mampu sebentar saja, dibandingkan dengan anak yang gizinya baik, yang mampu melakukannya dalam waktu yang lebih lama. Selain itu di Posyandu Gendis I terdapat anak yang tidak diberi ASI namun perkembangannya mengalami sedikit keterlambatan dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


15HUBUNGAN ANTARA PELAKSANAAN PERSONAL HYGIENE PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN RIWAYAT IMMOBILISASI DI RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Peranan rumah sakit dalam memajukan kesehatan masyarakat pada masa sekarang ini menjadi bertambah penting. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan akan pelayanan kesehatan semakin tinggi dan masyarakat pun menjadi semakin kritis dalam memperhatikan mutu pelayanan yang diberikan sebuah rumah sakit (Lumenta, 1989 Cit. Ema, 2004). Reorientasi tujuan dari organisasi layanan kesehatan dan reposisi hubungan pasien-dokter dan profesi layanan kesehatan perlu diperhatikan agar semakin terfokus pada kepentingan pasien. Dengan kata lain layanan kesehatan itu harus selalu mengupayakan kebutuhan dan kepuasan pasien dan atau masyarakat yang dilayani secara simultan (Pohan, 2006).
Mutu pelayanan rumah sakit sangat tergantung pada kualitas perawat-perawatnya. Dalam sistem pelayanan kesehatan, perawat mendapat banyak perhatian karena peran dan fungsi mereka memberi bentuk terhadap upaya pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan hal-hal yang dapat menjadi hambatan perkembangan kualitas perawat, agar dapat diusahakan pencegahan atau penanganannya sedini mungkin sehingga tidak sampai mengganggu proses pelayanan rumah sakit (Lumenta, 1989 Cit. Ema, 2004).
Kepuasan pasien adalah keluaran dari layanan kesehatan dan suatu perubahan dari sistem layanan kesehatan yang ingin dilakukan tidak mungkin tepat sasaran dan berhasil tanpa melakukan pengukuran kepuasan pasien. Karena hasil pengukuran kepuasan pasien akan digunakan sebagai dasar untuk mendukung perubahan sistem layanan kesehatan dan merupakan perangkat yang digunakan untuk mengukur kepuasan pasien yang handal dan dapat dipercaya (Pohan, 2006).
Pelayanan keperawatan yang bermutu adalah pelayanan keperawatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan dari asuhan keperawatan sesuai dengan tingkat kepuasan masyarakat, serta penyelengaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan. Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien harus selalu memperhatikan kebutuhan dasar manusia secara individual yang sangat unik, terdiri dari kebutuhan bio-psiko-sosial dan spiritual yang salah satunya adalah kebutuhan personal hygine.
Pemenuhan personal hygine adalah tindakan keperawatan terhadap pasien seperti kebersihan kulit (mandi), kebersihan rambut, kebersihan kaki dan kuku, kebersihan mulut dan kebersihan perineal (Smith (1996) dalam Alimul, 2006). Orang sehat biasanya dapat melakukan sendiri pemeliharaan personal hygine-nya. Tetapi selama waktu sakit perawat membantu pasien meneruskan kebiasanya menjaga kesehatan dan kebersihannya. Misalnya seorang pasien yang sedang sakit mungkin akan merasa terganggu jika harus menyikat gigi atau mungkin dapat melalaikanya (Mahmudin, 2002).
Pemenuhan kebutuhan personal hygiene dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dibantu oleh perawat yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan. Pasien yang masuk ke Rumah Sakit sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan personal hygiene, sehingga mereka sering ketergantungan dengan perawat untuk memenuhi kebutuhan kebersihan dirinya. Perawat sebagai pelaksana dan yang melakukan asuhan keperawatan kepada pasien telah mempunyai pengetahuan cara memenuhi kebutuhan personal hygiene baik secara mandiri atau dibantu. Pengetahuan didapat saat perawat menjalani pendidikan sesuai dengan tingkat pendidikan perawat yang diperolehnya.
Fenomena yang menarik untuk dipelajari dari pandangan perawat dan pasien, dalam praktek sehari-hari di Rumah Sakit, terdapat adanya kecenderungan perawat untuk meninggalkan suatu tindakan mandiri keperawatan. Ada sebagian perawat yang berpandangan bahwa seorang perawat dikatakan profesional bila ia mampu melakukan tindakan yang kadang berada di luar area kemandirian perawat itu sendiri. Sebagai bentuk tindakan mandiri perawat, melaksanakan kebersihan perorangan pada pasien sering tidak dilakukan perawat (Mahmudin, 2002).
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten merupakan rumah sakit terbesar di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Berkaitan dengan pelaksanaan personal hygiene yang dirasakan oleh pasien, menunjukkan pelaksanaan personal hygiene yang dilakukan perawat untuk membantu pasien di Instalansi Rawat Intensif RSUP DR. Soeradji Tirtonegoro Klaten, didapatkan bahwa ketentuan melakukan kebersihan diri, yang meliputi mandi, gosok gigi, mencuci rambut, memotong kuku dan lain-lain dilakukan oleh perawat. Hasil wawancara pada 5 pasien riwayat immobilisasi yang personal hygiene-nya dibantu oleh perawat, menunjukkan 3 pasien menyatakan tentang pelaksanaan personal hygiene oleh perawat adalah kurang baik. Untuk dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang pelaksanaan personal hygiene yang dilakukan oleh perawat khususnya pada pasien yang personal hygiene-nya pernah dibantu (riwayat immobilisasi) di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, maka peneliti bermaksud melaksanakan penelitian yang fokusnya pada persepsi pasien tentang pelaksanaan personal hygiene (pemeliharaan kebersihan perorangan) oleh perawat di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG AIR SUSU IBU (ASI) DI PUSKESMAS SANDEN KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Gerakan pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat tahun 2010 sudah di canangkan oleh Presiden RI pada tanggal 1 Maret 1999. Dengan kebijakan dan strategi baru ini, perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di semua sektor harus mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Tujuan pembangunan Indonesia sehat 2010 adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia, yang dicirikan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif, dan mandiri (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000). Peningkatan kualitas manusia tidak dapat tercipta dalam waktu yang singkat, sehingga perlu dilakukan sedini mungkin sejak bayi dalam kandungan ibu dan segera setelah bayi lahir. Dengan demikian kesejahteraan ibu dan anak mendapat perhatian khusus sebagai upaya untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi (Depkes RI, 1993).
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah indikator status kesehatan yang peka menerangkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia adalah masih tingginya AKB yaitu 35 per seribu kelahiran hidup (KH). Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan Negara ASEAN lain. Di Philipina, 23,98 per 1000 KH, Thailand 21,83 per 1000 KH, Malasyia 19 per1000 KH, Brunai Darussalam 13,5 per 1000 KH, dan Singapura 3,3 per 1000 KH. Penyebab utama kematian bayi dan balita di Indonesia adalah penyakit infeksi terutama infeksi saluran nafas dan diare (Rahardjo, 2003).
Meskipun menyusui bayi sudah menjadi budaya Indonesia, namun praktik pemberian ASI masih belum memenuhi harapan. Buruknya pemberian ASI dipicu oleh promosi susu formula di berbagai media dan sarana pelayanan kesehatan (SPK) (Depkes RI, 2006). Salah satu upaya tersebut adalah digalakkannya peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI). Air Susu Ibu sebagai sumber gizi utama bagi bayi memiliki keunggulan yang tidak perlu disangsikan lagi, selain sebagai sumber gizi pemberian ASI dapat menjarangkan kehamilan, memberikan kekebalan bagi bayi serta efek psikologis hubungan lekat bayi (maternal–infant bonding) sehingga dapat meningkatkan kualitas maupun kelangsungan hidup anak (Depkes RI, 1993).
Salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan keadaan gizi balita yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik memerlukan pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan pemberian ASI yang benar dan tepat. Bayi yang mendapat ASI akan lebih terjaga dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA serta mempunyai peluang untuk hidup lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula (Rahardjo, 2003).
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama. Pemberian ASI pada bayi umur kurang 2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9 dan antara 6-7 bulan 7,8%. Sementara itu cakupan pemberian susu formula meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu antara 1997 sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002 (Depkes RI, 2006).
Gambaran tentang pemberian ASI di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001, ternyata bayi yang berumur 6 bulan yang masih mendapat ASI saja 6,7%, ASI dan makanan tambahan 84,2% dan yang memberikan makanan tambahan saja 9,1% (BPS, 2001). Gambaran tentang pemberian ASI di Yogyakarta menurut BPS Provinsi DIY dari hasil Susenas 1999, ternyata bayi berumur 0-5 bulan yang masih mendapat ASI saja 7,76% dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 13,81% (BPS, 2000). Dinas Kesehatan Provinsi DIY melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif perkabupaten atau kota tahun 2004 yaitu Gunung Kidul 40,52%, kota Yogyakarta 31,46%, Sleman 30,03%, Kulonprogo 21,76%, dan Bantul 21,62% (Dinkes DIY, 2005). Puskesmas Sanden melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif sampai bayi usia 4 bulan pada tahun 2005 yaitu 37,50% dan ASI eksklusif 6 bulan tahun 2006 yaitu 30,73% (Puskesmas Sanden, 2007)
Menyusui merupakan pengalaman baru bagi ibu post partum sehingga dapat menjadi stressor yang pada akhirnya dapat menimbulkan krisis. Melihat fenomena tersebut untuk mengantisipasi terjadinya krisis pemberian tambahan pengetahuan sangat penting terutama tentang bagaimana cara atau teknik menyusui yang benar (Linasari, 2004).
Proses pemberian ASI eksklusif banyak bergantung pada visi ibu. Para ibu (terutama ibu yang baru pertama kali melahirkan) harus menambah pengetahuannya mengenai pentingnya ASI eksklusif, termasuk keterikatan ibu-bayi (bonding) dan tingginya imunitas dalam ASI sehingga anak akan jarang sakit. Keberhasilan ASI Eksklusif bisa diperoleh bila ibu mempunyai persepsi yang benar soal ASI dan keadaan emosinya stabil. Rasa cemas bingung dan depresi pada ibu menyusui akan menyebabkan hubungan ibu-bayi kurang harmonis, sehingga umumnya mengurangi frekuensi dan lamanya menyusui. Disamping itu juga Stres pada ibu menyusui bisa menyebabkan produksi ASI berkurang (Krisnadi, 2006).
Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat sederhana, seperti misalnya cara menaruh bayi pada payudara ketika menyusui, isapan bayi yang menyebabkan puting terasa nyeri, dan masih banyak lagi masalah lain. Terlebih pada minggu pertama setelah persalinan seorang ibu lebih peka dalam emosi. Untuk itu seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui (Padmawati dalam Soetjiningsih, 1997)
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa didahului oleh stimulus yang berupa materi sehingga menimbulkan pengetahuan baru, selanjutnya menimbulkan respon batin berupa sikap yang akhirnya menimbulkan respon yang lebih jauh yaitu berupa tindakan. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmojo, 1993).

Penyerapan informasi yang beragam dan berbeda dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan manusia baik pikiran, perasaan maupun sikapnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kemampuan dasar yang dimiliki seseorang, khususnya pemberian ASI. Air susu ibu merupakan makanan utama dan terbaik untuk bayi usia 0-2 tahun (Astutik, 2003).
Berdasarkan data dari beberapa penelitian, ternyata belum semua ibu menyusui memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Banyak faktor penyebab tidak berhasilnya pemberian ASI eksklusif 6 bulan, salah satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan, pengalaman menyusui, informasi lewat media, serta faktor petugas dan pelayanan kesehatan melalui KIE tentang ASI eksklusif oleh petugas kesehatan termasuk perawat, bidan, atau dokter (Notoatmodjo, 2002; Lubis, 1998; Wiryo, 2001)
Menurut uraian diatas bahwa cakupan ibu yang memberikan ASI eksklusif di Kabupaten Bantul terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta, melihat kenyataan tersebut maka penulis memandang perlu diadakan penelitian “Hubungan antara Paritas dengan Pengetahuan Ibu tentang Air Susu Ibu (ASI) di wilayah kerja Puskesmas Sanden Bantul”. Alasan peneliti mengambil Puskesmas Sanden sebagai tempat penelitian adalah karena pelaksanaan pemberian ASI eksklusif pada tahun 2005 dan tahun 2006 kecamatan Sanden belum memenuhi target Bantul sebesar 80%. Serta letak Puskesmas Sanden yang berada di daerah semi perkotaan sehingga diharapkan dapat menggambarkan masyarakat desa dan kota.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMBERIAN ASI DENGAN STATUS GIZI BATITA DI DESA WONOKERTO, KECAMATAN TURI, KABUPATEN SLEMAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Angka Kematian Batita menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan. Angka Kematian Batita adalah jumlah kematian anak umur 0-3 tahun per 1.000 kelahiran hidup.Angka Kematian Batita pada tahun 2002 diperkirakan sebesar 43 per 1000 kelahiran hidup dan ternyata Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 (SDKI 2002-2003) menunjukkan bahwa AKABA mencapai 23 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 1996 AKABA diperkirakan sebesar 58 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 53 pada tahun 1992 dan turun kembali menjadi 28 pada tahun 2000. Sedangkan Angka kematian batita di D. I. Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2002) terlihat mengalami penurunan terus-menerus.
Status gizi batita merupakan salah satu indikator yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keadaan gizi, terutama sejak masa batita, akan sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan manusia dewasa. Hal ini disebabkan kecukupan gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak terutama pada masa balita yang nantinya akan menghasilkan manusia yang produktif dan berkualitas (Susenas, 2001). Berbagai studi telah mengidentifikasi faktor-faktor resiko tinggi yang mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak. Faktor-faktor itu berkaitan dengan kondisi medis, sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang mencakup salah satunya adalah penyapihan dini (Suhardjo, 2003).
Masa penyapihan pada anak merupakan masa yang sulit dimana anak mengalami masa peralihan antara disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa. Sering kali karena kurang bersihnya makanan yang diberikan anak mengalami diare setelah penyapihan. Apabila salah dalam pemberian makanan pada balita setelah penyapihan bisa berakibat penurunan status gizi pada balita (Neilson, 1997).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations Childern’s Fund (UNICEF) merekomendasikan menyusui eksklusif sejak lahir untuk 6 bulan pertama, dan meneruskannya bersama makanan pendamping Air Susu Ibu (MP – ASI) yang cukup sampai 2 tahun atau lebih,tetapi sebagian besar ibu dibanyak negara mulai memberikan bayi makanan atau minuman buatan pada umur kurang dari 6 bulan, dan banyak lagi menghentikan menyusui sebelum anak berumur 2 tahun (Depkes, 2005). Melihat begitu unggulnya ASI maka sangat disyangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang diharapkan. Penggunaan ASI yang dianjurkan adalah sampai umur 6 bulan bayi hanya diberi ASI saja, kemudian pemberian ASI diteruskan sampai umur 2 tahun bersama dengan makanan tambahan yang adekuat
Data yang diperoleh tentang lamanya pemberian ASI di Kabupaten Sleman pada tahun 2005 yaitu usia 0-5 bulan sebanyak 2.961 (7,78%), usia 6-11 bulan sebanyak 1.607 (4,22%), usia 12-17 bulan sebanyak 6.175 (16,22%), usia 18-23 bulan sebanyak 5.244 (13,78%) dan usia >24 bulan sebanyak 22.077 (58%) (Susenas 2005).
Status gizi balita di DIY pada tahun 2005 terdapat 1,20% balita mengalami gizi buruk, 9,00% mengalami gizi kurang kurang, 83,29% mengalami gizi normal, dan 6,51% mengalami gizi lebih. (DinKes Provinsi DIY, 2005). Di Kabupaten Sleman terdapat 57.548 balita, yang ditimbang sebanyak 53.265 balita. Untuk status gizi di Kabupaten Sleman terdapat 37.087 balita (64,45%) mengalami gizi normal, 301 balita (0,52%) mengalami gizi kurang. (Profil Kesehatan Kabupaten, 2005). Sedangkan di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang akan dijadikan lokasi penelitian terdapat 2,67% batita mengalami gizi buruk, 6,23% batita mengalami gizi kurang, 88,77% batita mengalami gizi baik, dan 1,78% batita mengalami gizi lebih. Untuk desa Wonokerto sendiri terdapat 317 batita, 2,20% mengalami gizi buruk, 17,03% mengalami gizi kurang, 80,21% gizi baik, dan 0,68% gizi lebih (Subdin Kesga Dinkes Sleman, 2005).
Peneliti mengambil obyek penelitian di lokasi tersebut diatas karena didasari studi pendahuluan yang menunjukkan bahwa dilokasi tersebut masih ada balita dengan gizi buruk dan gizi kurang dan juga lamanya pemberian ASI yang kurang dari 2 tahun. Berdasarkan kondisi tersebut penulis mencoba meneliti apakah ada hubungan antara lama pemberian ASI dengan status gizi batita di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu




Read more


HUBUNGAN ANTARA LAMA PEMBERIAN ASI DENGAN STATUS GIZI BATITA DI DESA WONOKERTO, KECAMATAN TURI, KABUPATEN SLEMAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Angka Kematian Batita menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan. Angka Kematian Batita adalah jumlah kematian anak umur 0-3 tahun per 1.000 kelahiran hidup.Angka Kematian Batita pada tahun 2002 diperkirakan sebesar 43 per 1000 kelahiran hidup dan ternyata Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 (SDKI 2002-2003) menunjukkan bahwa AKABA mencapai 23 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 1996 AKABA diperkirakan sebesar 58 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 53 pada tahun 1992 dan turun kembali menjadi 28 pada tahun 2000. Sedangkan Angka kematian batita di D. I. Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2002) terlihat mengalami penurunan terus-menerus.
Status gizi batita merupakan salah satu indikator yang mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keadaan gizi, terutama sejak masa batita, akan sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan manusia dewasa. Hal ini disebabkan kecukupan gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak terutama pada masa balita yang nantinya akan menghasilkan manusia yang produktif dan berkualitas (Susenas, 2001). Berbagai studi telah mengidentifikasi faktor-faktor resiko tinggi yang mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak. Faktor-faktor itu berkaitan dengan kondisi medis, sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang mencakup salah satunya adalah penyapihan dini (Suhardjo, 2003).
Masa penyapihan pada anak merupakan masa yang sulit dimana anak mengalami masa peralihan antara disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa. Sering kali karena kurang bersihnya makanan yang diberikan anak mengalami diare setelah penyapihan. Apabila salah dalam pemberian makanan pada balita setelah penyapihan bisa berakibat penurunan status gizi pada balita (Neilson, 1997).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations Childern’s Fund (UNICEF) merekomendasikan menyusui eksklusif sejak lahir untuk 6 bulan pertama, dan meneruskannya bersama makanan pendamping Air Susu Ibu (MP – ASI) yang cukup sampai 2 tahun atau lebih,tetapi sebagian besar ibu dibanyak negara mulai memberikan bayi makanan atau minuman buatan pada umur kurang dari 6 bulan, dan banyak lagi menghentikan menyusui sebelum anak berumur 2 tahun (Depkes, 2005). Melihat begitu unggulnya ASI maka sangat disyangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang diharapkan. Penggunaan ASI yang dianjurkan adalah sampai umur 6 bulan bayi hanya diberi ASI saja, kemudian pemberian ASI diteruskan sampai umur 2 tahun bersama dengan makanan tambahan yang adekuat
Data yang diperoleh tentang lamanya pemberian ASI di Kabupaten Sleman pada tahun 2005 yaitu usia 0-5 bulan sebanyak 2.961 (7,78%), usia 6-11 bulan sebanyak 1.607 (4,22%), usia 12-17 bulan sebanyak 6.175 (16,22%), usia 18-23 bulan sebanyak 5.244 (13,78%) dan usia >24 bulan sebanyak 22.077 (58%) (Susenas 2005).
Status gizi balita di DIY pada tahun 2005 terdapat 1,20% balita mengalami gizi buruk, 9,00% mengalami gizi kurang kurang, 83,29% mengalami gizi normal, dan 6,51% mengalami gizi lebih. (DinKes Provinsi DIY, 2005). Di Kabupaten Sleman terdapat 57.548 balita, yang ditimbang sebanyak 53.265 balita. Untuk status gizi di Kabupaten Sleman terdapat 37.087 balita (64,45%) mengalami gizi normal, 301 balita (0,52%) mengalami gizi kurang. (Profil Kesehatan Kabupaten, 2005). Sedangkan di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang akan dijadikan lokasi penelitian terdapat 2,67% batita mengalami gizi buruk, 6,23% batita mengalami gizi kurang, 88,77% batita mengalami gizi baik, dan 1,78% batita mengalami gizi lebih. Untuk desa Wonokerto sendiri terdapat 317 batita, 2,20% mengalami gizi buruk, 17,03% mengalami gizi kurang, 80,21% gizi baik, dan 0,68% gizi lebih (Subdin Kesga Dinkes Sleman, 2005).
Peneliti mengambil obyek penelitian di lokasi tersebut diatas karena didasari studi pendahuluan yang menunjukkan bahwa dilokasi tersebut masih ada balita dengan gizi buruk dan gizi kurang dan juga lamanya pemberian ASI yang kurang dari 2 tahun. Berdasarkan kondisi tersebut penulis mencoba meneliti apakah ada hubungan antara lama pemberian ASI dengan status gizi batita di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu




Read more


HUBUNGAN ANTARA GEJALA KLINIS MALARIA DENGAN PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS POSITIF MALARIA DI PUSKESMAS KARANGMONCOL, KECAMATAN KARANGMONCOL, KABUPATEN PURBALINGGA

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyakarat utama di seluruh dunia. Dalam buku The World Malaria Report 2005, Badan Kesehatan Dunia (WHO), menggambarkan walaupun berbagai upaya telah dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12% pendapatan nasional dari negara-negara yang memiliki permasalahan malaria.
Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dimana hampir seluruh wilayahnya daerah endemis malaria. Malaria dapat menimbulkan beban sakit dan kematian serta mengakibatkan dampak sosial-ekonomi, khususnya bagi penduduk miskin di daerah endemis malaria (Depkes, 2003). Survai kesehatan nasional tahun 2001 mendapati angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun. United Nation Development Program (UNDP, 2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6 juta per tahun. Persentase penderita malaria pada tahun 2005 untuk Nasional sebesar 13,4%, sedangkan di Provinsi Jawa tengah sebeasr 1,12% dan di Kabupaten Purbalingga sebesar 0,13% (Bappenas, 2006).
Penduduk yang terancam malaria pada umumnya adalah penduduk bertempat tinggal di daerah endemis malaria baik daerah yang kategori daerah endemis malaria tinggi dan daerah endemis malaria sedang diperkirakan ada sekitar 15 juta (Depkes RI, 2001).
Peranan keendemikan (endemisitas) malaria, migrasi penduduk yang cepat, serta berpindah-pindah (traveling) dari daerah endemis, secara tidak langsung mempengaruhi masalah diagnostik klinis malaria. Perubahan gambaran morfologi parasit malaria, serta variasi galur (strain), yang kemungkinan disebabkan oleh pemakaian obat antimalaria secara tidak tepat (irasional), membuat masalah yang semakin sulit terpecahkan. Sementara disisi lain terdapat keterbatasan kemampuan kurang terlatihnya tenaga pemeriksa (peteknik laboratorium) yang dapat membaca preparat dengan benar menimbulkan kendala dalam memeriksa parasit malaria secara mikroskopis yang selama ini merupakan standar emas (gold standard) dalam pemeriksaan laboratoris malaria (Moody, 2002; Kakkilaya, 2003; CDC, 2004). Hal ini menimbulkan kesulitan penangananan penyakit malaria secara cepat dan tepat. Adanya kepentingan untuk mendapatkan diagnosis yang cepat pada penderita yang diduga menderita malaria merupakan tantangan untuk diagnosis dini malaria.
Kabupaten Purbalingga adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang termasuk dalam kategori daerah endemis malaria. Kendala yang dihadapi dalam pengobatan malaria di Kabupaten Purbalingga, diawali dengan kesulitan mendapatkan diagnosis dini, keterlambatan mendapat pengobatan bagi penderita dikarenakan beberapa wilayah kecamatan dan desa di Kabupaten Purbalingga merupakan wilayah terisolir, tidak tepatnya regimen dan dosis, resistensi terhadap obat anti malaria dan belum adanya obat anti malaria yang ideal. Kecamatan Karangmoncol merupakan bagian dari daerah endemis malaria di Kabupaten Purbalingga (Dinkes Purbalingga, 2008).


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more


HUBUNGAN ANTARA KADAR HAEMOGLOBIN ( Hb ) DENGAN PRESTASI BELAJAR PELAJAR PUTRI DI SMP BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai dengan dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif (Direktorat Gizi Masyarakat, 2002).
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kurang gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktifitas, menurunkan daya tahan, meningkatkan kesakitan dan kematian. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu, sejak janin yang masih di dalam kandungan, bayi, anak-anak, masa remaja, dan dewasa sampai usia lanjut. Ibu atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup sehingga harus dijaga status gizi dan kesehatannya, agar dapat melahirkan bayi yang sehat (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Upaya perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan secara intensif selama 30 tahun terakhir telah dapat menurunkan prevalensi beberapa masalah gizi utama, khususnya kurang energi protein (KEP), kurang energi kronis (KEK), gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A (KVA) dan anemi gizi. Namun sampai saat ini anemi gizi masih merupakan masalah gizi utama yang diderita oleh ibu hamil dan wanita pada umumnya. Anemi pada ibu hamil meningkatkan resiko terjadinya keguguran, lahir sebelum waktunya, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), lahir mati dan kematian prenatal. Ibu hamil yang menderita anemia berat dapat mengalami kegagalan jantung, yang dapat menimbulkan kematian (WHO, 2000).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN. Angka Kematian Ibu sudah menurun dari 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 343 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 (SDKI). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi anemia masih tinggi yaitu pada ibu hamil 50,9 %, ibu nifas 45,15 % , remaja putri usia 10 – 14 tahun sebesar 57,1 % dan pada wanita usia subur (WUS) adalah 39,5 % (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah, dan cepat capai. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olahraga, dan produktifitas kerja. Di samping itu daya tahan tubuh penderita kekurangan zat besi akan menurun, selanjutnya penderita mudah terkena infeksi (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Anemia disebabkan kurangnya zat besi atau Fe dalam tubuh. Hal ini karena masyarakat Indonesia khususnya wanita kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani yang merupakan sumber zat besi yang mudah diserap (heme-ion). Sebagian bahan makanan nabati (non heme-ion) merupakan sumber zat besi yang tinggi tetapi sulit diserap, sehingga dibutuhkan porsi yang besar untuk mencukupi kebutuhan zat besi dalam sehari. Jumlah tersebut tidak mungkin terkonsumsi (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Kebutuhan zat besi pada wanita tiga kali lebih besar dari pada kebutuhan pria. Hal ini antara lain karena wanita mengalami haid setiap bulan yang berarti kehilangan darah secara rutin dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini yang memperberat terjadinya anemia pada wanita adalah sering melakukan diet pengurangan berat badan karena faktor ingin langsing/kurus. Sehingga seringkali wanita memasuki masa kehamilannya dengan kondisi dimana cadangan zat besi dalam tubuhnya kurang atau terbatas (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003).
Program penanggulangan anemia gizi pada WUS mempersiapkan kondisi fisik wanita sebelum hamil agar siap menjadi ibu yang sehat dan pada waktu hamil tidak menderita anemia, sedangkan pada usia remaja putri diutamakan mengkonsumsi makanan bergizi yang seimbang agar dalam masa pertumbuhan dapat terpenuhi zat besi dalam darah sehingga dalam proses belajar tidak mengalami gangguan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003)
Survei data dasar pada 10 Kabupaten di Jawa Tengah pada tahun 1998 menunjukkan angka prevalensi anemia lebih tinggi dari angka nasional yaitu pada remaja putri (SLTP dan SMU) sebesar 57,4% (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003). Menurut Hastuti dkk, (1998), di Kabupaten Magelang prevalensi anemia diketahui sebesar 48,7 %. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolisme oksidatif otak diakibatkan oleh rendahnya kandungan hem dan enzim ion dependent yang menimbulkan perubahan perilaku.
Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang ” Hubungan antara kadar Hb dengan prestasi pelajar putri SLTP Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang ”.


Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :




Read more

TATA CARA PEMESANAN SKRIPSI - TESIS LENGKAP

  1. DAFTARKAN FORMULIR VERIFIKASI PESANAN
  2. Selanjutnya Kirim SMS ke 0856 2926 356 . Format Isi pesan : "Judul _ spasi _Sumber: [Sendrooms] atau [paNRoom]"
  3. BIAYA DONASI PEMBAYARAN
  4. Setelah biaya pemesanan dibayar, anda harus melakukan konfirmasi melalui SMS ke 0856 2926 356 bahwa anda telah melakukan transfer ke Bank BNI No.Rek.0184 734 644 , atas Nama Herry dan Sertakan Alamat Email Anda (PEMESAN) sebagai tujuan pengiriman file skripsi yang akan kami tuju.
  5. File skripsi akan segera dikirimkan ke alamat email anda, setelah proses pembayaran dan konfirmasi SMS telah kami terima.
  6. DAFTAR FORMULIR /Sign up Now / REGISTER NOW untuk pendaftaran secara GRATISS .....
Job at home

Job at home

Whether you are looking for a succeed work at home or whether you dream about getting income online; yes, in the end, you located it!

Have economic independence

No computer skills needed. You can be completely new to manage our system - you don't need ANY experience. This is actually easy.

You may stay at room and work at your free time. Even if you don't have pc you may do this work in Online cafe or on Internet cell phone.

How it works?

We design a online-shop for you with ready to operate e-commerce solution. Your work is very simple; you have to submit material about your web-store to the Internet directories. We will provide you with very simple step-by-step instruction how to do this. The typical instruction requests you to open a web site and fill in a form with data regarding your internet-store and software.

You will be paid from US $20.00 to US 180.00 for any purchase which is comes via your web-shop.

There is no restriction for your revenue. No matter where you live your commissions are 100% guaranteed.

Sign up Now...

Register now to get economic freedom. All you need is the simple: register now and havepersonal internet company!

powered by
Socialbar